Selasa, 15 Januari 2008

APA KATA SEMESTA?

APA KATA SEMESTA?
Aku tidak ingin menjadi pohon bambu yang mengikuti angin, tapi aku ingin menjadi pohon oak yang bergerak menentang angin.
(Soe Hok Gie)
Hari ini Aryo merasa sebal sekali. Keinginannya menjadi seorang yang berpikir dan berjalan dengan arah pikirannya sendiri ditentang oleh orang-orang kesayangannya. Keinginannya untuk menjadi seorang pecinta alam ditentang oleh orang tuanya, kakaknya, bahkan pacarnya sekalipun. Aryo merasa hidupnya bagaikan berada di dalam tempurung kelapa. Ingin rasanya dia meninju kamar kosnya, tapi apa daya tangannya tidak sekeras kulit tembok kamar kosnya. Jangankan merasa sakit, tembokpun tidak merasa mengeluh ketika dipukulnya, yang merasa sakit dan berteriak malah Aryo. Apa kata semesta?
Kekesalan Aryo dimulai seminggu yang lalu, ketika ia mendaftar ikut UKM Pecinta Alam di kampusnya. Pada waktu itu tidak pernah terlintas pikiran sampai masalahnya menjadi sepelik ini. Dia hanya berpikir, kalau mengikuti kegiatan yang positif maka akan disetujui oleh keluarganya. Tapi perkembangannya, ketika pertama kali mengatakan kalau dia mengikuti Pecinta Alam kepada kakaknya, dengan serta merta sang kakak menolak dan tidak mengijinkan Aryo untuk mengikuti kegiatan ini. Kakaknya beralasan kalau kegiatan itu akan mengganggu kuliahnya. Kemudian Aryo meminta ijin kepada ibunya, tetapi ibunya pun tidak mengijinkan. Kebingungan dan kebimbangan kemudian melanda diri Aryo. Kemudian dia mengambil buku kesayangannya “Catatan Seorang Demonstran”. Disana Aryo menemukan kata-kata sakti yang berbunyi “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya.. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung”. Dari kata-kata itu, Aryo semakin memantapkan hati untuk maju terus pantang mundur mengikuti UKM Pecinta Alam di kampusnya. Aryo sadar akan konsekuensi yang diakibatkan nanti.
Aryo sebenarnya ingin bergerak dengan alam pikirannya saat itu. “Kalau mau minta tanda tangan untuk mengikuti pecinta alam, aku malas. Kalau masih tetap keras kepala, minta tanda tangan sama tukang becak saja” kata kakak Aryo. Aryo semakin mendongkol mendengar itu dari mulut kakaknya sendiri. Kemudian ia menjadi bimbang, akankah ia mengikuti kata-kata kakaknya,orang tuanya bahkan pacarnya? “Kita lebih baik putus daripada kamu tidak mau menuruti aku. Aku tidak suka kamu ikut kegiatan pecinta alam atau apalah yang sebangsa dengan itu. Pokoknya aku tidak mau tahu, Okey?” Ultimatum dari Ayunda, pacar Aryo. Kalau Aryo mengikuti kata-kata orang-orang kesayangannya berarti Aryo telah mengesampingkan hati nurani. Dan bisa dikatakan pikirannya tidak berjalan secara mandiri. Kemudian apabila ia berjalan dengan kemauan dan arah pikirannya sendiri ia takut dikatakan tidak berbakti atau durhaka. Apa kata semesta?
Berpikir secara bebas, bertindak dengan jalan pikirannya sendiri tetapi dengan pertimbangan yang matang. Itulah sebenarnya yang diinginkan oleh Aryo. Menjalankan pikiran dengan ditemani belenggu-belenggu ketidakberdayaan, mengalah kepada keadaan, berjalan dengan selalu diiringi dengan tuntunan, apakah Aryo akan selalu begini? Apakah demokrasi berpikir akan terbentur masalah-masalah? Aryo tidak habis pikir, sejak jaman penjajahan Belanda sampai era sekarang, kebebasan berpikir dikekang. Aryo menjadi ingat kasus Bung Munir. Bagaimana seorang pejuang HAM dibunuh. Mungkin ini juga termasuk pengekangan kebebasan berpikir.
Satu minggu kemudian, pelatihan dasar di UKM Pecinta Alam dimulai. Pelatihan ini tidak seperti apa yang dibayangkan olehnya. Pelatihan ini sangat berat. Tapi Aryo tidak ingin keluar dari pelatihan ini, walaupun berkali-kali keinginan keluar itu datang. Tetapi ia telah membulatkan tekad. Dia ingin membuktikan kepada orang-orang kesayangannya bahwa pilihannya ini tidak salah dan dia bertekad bahwa akan mendapatkan hal-hal yang positif dalam mengikuti kegiatan ini. Apabila ia keluar dan menyerah dengan keadaan ini, apa kata semesta?
“Gung, aku ingin keluar dari pelatihan ini. Aku sudah tidak kuat!” keluh Aryo kepada Agung, teman satu kontrakannya. “Ah, kau ini! Kaukan telah membulatkan tekad untuk ikut kegiatan ini. Kalau sudah mantap mengapa harus datang ragu?” kata Agung. Kata yang diucapkan oleh Agung ini coba diresapi oleh Aryo. Keraguan merupakan musuh utama dari manusia, sedangkan belenggu-belenggu yang membatasi gerak pikiran adalah merupakan antek-antek dari keraguan itu. Apakah Aryo mampu untuk melawan penjajah alam pikiran manusia yang berbangga menyebut dirinya keraguan? Kebebasan pikiran adalah merupakan apa yang dituju oleh Aryo sekarang atau dengan kata lain demokrasi pikir.
Selama satu minggu Aryo telah menyelesaikan separo dari proses pelatihan dan bisa juga disebut penerimaan anggota baru. Dalam waktu satu minggu itu Aryo menjalaninya dengan perjuangan yang bisa dikatakan berat. Disana dia menemukan sahabat-sahabat yang dianggap keluarga sendiri. Rasa solidaritas, saling tolong, dan saling melindungi, itulah yang dirasakan oleh Aryo dalam mengikuti pelatihan yang maha berat ini. Disana dia bersahabat dengan Seypa, Eno, Matra, Noe, dan enam kawan lainnya. “ Bos mari berjuang bersama. Kita akan sama-sama menjadi pecinta alam” teriak Eno menyemangati Aryo ketika Aryo mengikuti proses pelantikan kedua. Semangat kekeluargaan untuk berjuang bersama, itulah yang mampu membuat Aryo bertahan dan ditambah untuk membuktikan bahwa kebebasan pikiran yang diperjuangkannya harus berakhir dengan hasil yang memuaskan.
Seminggu kemudian pelantikan yang terakhir diadakan di gunung Lawu. Disini perjuangan Aryo semakin berat. Dia dan kesembilan temannya berjuang saling membantu untuk menyelesaikan pelantikan yang keempat dan terakhir ini.
Selain melaksanakan pelantikan, Aryo juga mencoba memahami begitu besar keagungan Allah. Allah adalah Pencipta Maha Sempurna. Begitu besar rahmat yang diberikan kepada manusia. Saat melintasi alam pegunungan, Aryo begitu takjub melihat panorama alam yang sangat luar biasa indahnya. “Panorama yang begitu indah, mengapa aku dilarang untuk melihat, menikmati, dan menjaganya?” Tanya Aryo dalam hati.
Setelah melaksanakan pelantikan keempat dan resmi menjadi anggota pecinta alam di kampusnya, Aryo semakin terlihat kedewasaannya. Dia sangat puas dengan apa yang telah dilakukannya. Walaupun itu penuh dengan tentangan dan hambatan. Dia puas telah mampu membebaskan pikiran dari ketidakberdayaan. Dalam kerangka berpikirnya, memang terlihat egois dan bertindak semau sendiri. Tapi Aryo hanya ingin berjalan dengan arah pikirannya sendiri dan dia sudah siap menanggung segala resiko yang nantinya akan datang.
Suatu ketika, akhirnya kita tiba pada suatu hari yang biasa. Dimana ketidakberdayaan datang bertamu. Aryo mencoba melawan ketidakberdayaan itu dengan membebaskan diri dari ketidakberdayaan dan mencoba untuk berpikir secara bebas, berjalan dengan kemauan sendiri. Kalau kita tidak mampu membebaskan pikiran kita dan berjalan dengan kemauan sendiri dengan pertimbangan yang matang, bagaimana kita mau mandiri? Apa kata semesta?