Senin, 31 Agustus 2020

TERPAKSA DARING

Tahun 2020, memberikan catatan yang luar biasa bagi dunia terkait wabah penyakit Covid 19 atau Corona. Virus penyakit ini telah memberikan pengaruh besar bagi semua bidang kehidupan tidak terkecuali dunia pendidikan. Begitu pun dunia pendidikan di Indonesia. Hampir sebagian besar sekolah akhirnya menerapkan pembelajaran daring atau juga disebut pembelajaran jarak jauh. Tentu saja ini sangat berdampak besar di masyarakat kita. Sesuatu hal yang baru pasti akan diresponse dengan segala pro dan kontranya. Bagi kaum posivistik pendidikan, situasi ini dianggap berkah karena mengakselerasi pendidkkan yang dianggap tidak ada kemajuan yang berarti. Kesan sekolah seperti penjara, membuat manusia menjadi mesin, sekolah yang mengubur impian dan bakat anak dan lain seperti mendapatkan alternatif percepatan perubahan di tengah pandemi ini. Ujian Nasional yang sebelumnya direncanakan tahun depan ditiaadakan, langsung mulai tahun ini ditiadakan. Guru-guru pun menjadi melek teknologi. Anak mendapatkan kebebasan untuk belajar di rumah. Mau belajar sambal tiduran, sambal makan, Tanya sana-sini diperbolehkan dan tentu saja materi pembelajaran dikurangi dengan pemberlakuan kurikulum khusus. Bagi kaum positivistik pendidikan ini lah yang kemudian memberikan kemerdekaan bagi anak. Tetapi pandangan positivistik ini akan selalu berbenturan dengan masyarakat kita yang realistik. Pada akhirnya pembelajaran Daring ini juga menimbulkan masalah besar di masyarakat, anak, dan orang tua sendiri, bahkan banyak guru juga mengalami hal yang sama. Tidak hanya itu pemerataan tingkat teknologi di daerah-daerah juga menjadi masalah besar. Hal ini menunjukkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh panggang daripada api. Dengan gamblang, kondisi ini menunjukkan kesengjangan pembangunan di Indonesia yang dirintis oleh Orde Baru dengan kekuasaan sentralistiknya. Dan yang paling saya lihat, kembali soal mentalitas belajar. Sebenarnya dengan konsep seperti ini akan lebih menyenangkan dalam proses belajarnya ternyata juga malah aku mengalami kesulitan sendiri. Secara pribadi saya juga ingin membebaskan anak untuk ingin belajar apa, tetapi terkadang ketika saya tawarkan ini kepada siswa-siswa saya, saya malah didiamkan tidak ada jawaban. Apa memang sekolah mereka sebelumnya telah merenggut keberanian mereka dalam belajar dalam forum resmi belajar mengajar. Sepertinya memang image sekolah yang terbentuk di sebagian besar anak-anak dan masyarakat ini mengalami pergeseran. Tidak semuanya memang, tetapi sebagian entah besar atau kecil, bagi mereka belajar di sekolah itu sesuatu yang harus “diikuti” terus, dan jangan kamu terlibat aktif di dalamnya. Hal nyata terlihat dalam pembelajaran daring ketakutan akan muncul generasi bodoh. Ketika membaca itu, dalam hati saya bertanya, “apakah saat ini ketergantungan terhadap sekolah sangat begitu tingginya, sehingga mereka belajar sendiri pun takut?. Untuk mengenali kebutuhan diri sendiri terkait intelektualitas mereka tidak berani untuk mengetahuinya. Apa sekolah telah merenggut kepercayaan diri mereka terhadap pembelajaran mandiri? Terlalu banyak bertanya memang aku ini. Kembali ke judul yang saya angkat terpaksa daring. Karena wabah covid ini, akhirnyha guru mau tidak mau harus berkenalan dengan teknologi dan belajar kembali hal-hal yang baru untuk mendukung pembelajaran daring atau jarak jauh. Banyak guru yang bersemangat baik tua dan muda mengikuti webinar-webinar dan pelatihan-pelatihan, ah ya ada barang baru lagi yang kemudian dikenal banyak orang, webinar. Forum virtual seminar, dengan lebih irit segalanya. Mau tidak mau guru harus belajar dan berkenalan dengan aplikasi-aplikasi pembelajaran virtual seperti Edmodo, Microsoft teams, webex, zoom, dan lain-lain, bahkan kemudian guru juga bisa sekaligus menjalani profesi lain sebagai youtuber dengan content-content edukatif. Apakah hal itu bisa menarik siswa? Sebelum terjawab kelak, saya tekankan itu semua baru usaha soal hasil akan bisa dilihat 5-10 tahun yang akan datang. Dan Daring telah membuat semuanya belajar, tetapi muncul kemudian masalah yang besar… SINYAL dan KUOTA DATA. Ingat kesejahteraan kita masih belum adil dan beradab. Selain itu didukung mentalitas belajar secara aktif belum terbentuk dengan baik dikalangan pendidikan kita. Bahkan lingkungan masyarakat kita juga masih belum berkompromi untuk menciptakan pendidikan yang ideal ala negara-negara Skandinavia. Bahkan slogan tokoh pendidikan kita hanya menjadi pemanis dalam mimbar pidato dan terpasang indah melalui plang-plang indah di sudut kantor maupun sekolah. Keterpaksaan dalam melaksanakan pembelajaran Daring ini juga menampakkan bahwa pendidikan kita masih perlu banyak berbenah terkait kemajuan teknologi dan perkembangan jaman. Nyatanya ketika situasi pandemi ini membuat akselerasi perubahan dalam pendidikan masih membuat masyarakat kita baik yang di dalam maupun luar dunia kependidikan sendiri seperti terkena “gegar”. Imajinasi saya terlempar ke masa lalu ketika pertama kali bangsa-bangsa barat itu mengenalkan konsep belajar modern dengan dibangunnya sekolah yang mendengarkan guru dengan duduk manis. Menggeser bentuk padepokan pada zaman dulu, orang bersekolah dengan hitungan sekian jam di atas meja dengan tangan terlipat rapi di meja. Saya mencoba mengimajinasikan sebagai seorang masyarakat Indis waktu itu. akan cukup aneh melihat anak-anak dengan posisi seperti itu. apalagi harus duduk manis dengan sekian jam. Cuma dulu tidak berani menyampaikan karena takut akan pembesar dan para Londo tersebut. Membayangkan anak yang biasanya di sawah, kebun, atau sunga, dan kandang-kandang mereka sekarang harus duduk manis, dan aih mendengarkan. Tetapi bagi mereka yang sudah tersadarkan perkembangan zaman tentu akan lebih belajar dan mencoba untuk memahami gerak zaman tersebut. Terima kasih. Pati, 31 Agustus 2020
(dikutip dari palpos.id)

Sabtu, 29 Agustus 2020

Menjadi Guru, Sebuah “Kecelakaan” Dalam Hidup

 

            Berangkat kerja bersepatu dan berseragam dengan tas punggung berisi laptop dengan segala temannya. Tidak lupa jam yang dibeli dari Malioboro dilirik untuk memastikan berangkat tepat waktu, iya tepat waktu jam masuknya walaupun kadang terlambat sedikit. Begitulah gambaranku sekarang di usia kepala tiga. Kata beberapa buku menyangkut psikologi “titen”, umur segitu adalah umur menuju matang. Mendekati matang sebenarnya karena kalaupun jabatan di kantor dinas paling masih staf kasi (Kepala Seksi) dengan golongon IIIC. Tapi aku masih dibawah itu, aku masih menjadi honorer. Jadi itu masih menjadi bayangan yang visioner, ingat dicatat ya VISIONER. Dengan gambaran seperti itu pasti sudah tahu pekerjaanku apa  diusia kepala tiga ini yang tentu sudah berkeluarga. Untuk lebih jelasnya, dan menghindari pertikaian publik maka kusebutkan saja, sekarang aku menjadi GURU. Guru adalah semacam makhluk mulia yang diturunkan di dunia untuk memberikan penerangan bagi kehidupan manusia. Dia semacam pelita yang dengan cahayanya mampu membuat terang jalan masa depan manusia. Seperti itu diksi-diksi indah yang sering aku dapat ketika perayaan Hari Guru. Seebelumnya mohon maaf jika kalimat yang saya pakai seperti membuat guru itu biasa saja. Karena memang sebenarnya guru itu juga manusia, bukan dewa kata mas Soe Hok Gie yang kadang saya pakai menjadi story WA atau pun Instagram.

            Di masa remajaku, bisa jadi aku termasuk makhluk yang tidak visioner, karena hidupku habis untuk bermain. Tahun 200an, rental playstation sedang menjamur, VCD (Video Compact Disc) sedang marak datang di ruang-ruang keluarga menggantikan video dengan kaset bentuk batu bata. Bahkan yang sebelumnya tidak punya alat memutar video tersebut, menjadi punya VCD termasuk keluargaku, dan mobil mainan Tamiya mengekspansi dan membumi hanguskan mainan mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali. Di tengah perkembangan jaman tersebut, aku masuk sekolah menengah pertama dan kemudian satu tingkat diatasnya yaitu SMA. Mengapa aku bilang tidak visioner? Karena memang di usia itu, tidak pernah terpikirkan masa depan ku akan seperti apa, isinya cuma bermain dan bermain. Posisiku di keluarga juga mendukung. Aku anak bungsu dari empat keluarga sehingga cukup dimanja, dan ketika aku sekolah kebetulan ekonomi keluarga sedang membaik sejak berjualan SATE KAMBING. Jadinya dengan kegiatan yang selalu bermain tersebut aku belajar juga berjalan mengikuti arus dan dengan cita-cita yang terus berganti. Dari menjadi ilmuwan, professor, penemu, dan banyak hal lain. Bahkan di masa SMA, cita-citaku terus berganti, dan mulai fokus ketika berkenalan dengan profil tokoh bernama Soe Hok GIe. Setelah melihat film dan membaca tulisan-tulisan yang mengulas beliau, maka dengan ketetapan hati, besok saat saya kuliah mau jadi Pecinta Alam. Nah ini cita-cita yang lumayan tercapai secara status. Kemudian mendekati lulus SMA, aku pun belum mengambil besok mau kerja apa, Cuma satu yang sudah mantap.. POKOKNYA AMBIL SEJARAH.

            Mengapa harus mengambil sejarah?. Nah, dorongan batin ini lahir ketika masih Sekolah Dasar. Entah mengapa ingatan saya cukup baik untuk belajar tentang masa lalu. Kalau membicarakan masa lalu seperti ada semangat tersendiri. Dan itu berlanjut, ke SMP bahkan SMA. Nilai sejarah ku jarang mendapat nilai jelek. Paling remidi hanya sekali dua kali. Bahkan cukup bersombong juga jika pas ulangan mata pelajaran sejarah, banyak pesenan untuk duduk berdekatan denganku. Seperti makluk terganteng walaupun jelek pada saat momen itu rasanya, kehadiranku sebagai manusia sungguh-sungguh terasa. Aduh kenapa jadi mellow begini. Jadi kuputuskan besok saya melanjutkan kuliah di sejarah. Sebenarnya niat ini sudah ada semenjak kelas X SMA. Tetapi waktu kelas X SMA, belum tahu nanti pekerjaan apa setelah lulus jika ambil sejarah. Benar-benar tidak ada bayangan kecuali memang karena suka SEJARAH.

            Moment yang menentukan dalam hidup itu terjadi ketika mengambil jurusan dalam kuliah. Sejujurnya waktu itu dalam hati berkata, jika diterima di Sejarah UGM maka saya akan ambil. Walaupun memang sudah mendapatkan PBU semacam PMDK di UNY dan keterima di UM Unnes dan semuanya jurusan Pendidikan sejarah. Soal mengambil jurusan kependidikan inipun aku tidak visioner sama sekali. Karena mengikuti saran orang tua. Wong didalam pikiranku dulu, pokoknya ambil SEJARAH…. titik. Jadilah aku mengambil kuliah di Pendidikan Sejarah UNY. Apakah aku sudah mulai sreg menjadi guru waktu itu?. Jelas belum muncul bayangan untuk aku menjadi guru ketika kuliah pun. Kuliah-kuliah yang berhubungan dengan pedagogi, aku ikuti dengan setengah hati. Bahkan mata kuliah etika profesi keguruanpun   aku ikuti dengan setengah hati. Baju putih makak (agak kecoklatan), sepatu kulit warisan almarhum ayah, dan mata merah menggantung kurang tidur, serta tentu saja bisa ditebak wajah tanpa antusias sama sekali waktu mengikuti kuliah tersebut. Yang saya ingat saya cukup bersemangat jika masuk mata kuliah sejarah Indonesia abad 16 ke atas terutama bab kerajaan-kerajaan dan yang berbau dengan sejarah pemikiran dan filsafat. Bahkan mendekati semester akhir aku justru kehilangan semangat dan bahkan ragu dsiertai rasa sedikit menyesal, “mengapa saya ambil pendidikan dan menjadi guru?” Kenapa tidak ambil Ilmu sejarah yang murni. Karena kuliah pendidikan sejarah sendiri hanya membahas dan mempelajari sejarah-sejarah yang tampak di permukaan saja tidak mendalam, begitu pikiranku waktu itu. ketika memandang diri juga, aku sendiri tipe orang yang tidak suka hal tertib apalagi soal kerapian waktu itu. Bahkan soal penampilan tidak pernah kuperhatikan. Pakaian kuliah saja kadang asal comot yang ada di sekretariat atau Hima. Benar-benar tidak  ada bakat sama sekali untuk menjadi guru.

            Pagi kemarin aku buka linimasa Facebookku. Kubuka tentang story nya dan mataku tertuju pada status ketika aku PPL (praktek mengajar) di salah satu sekolah di tengah kota Jogja. Status-status yang pedas tanpa basa-basi dan mengutuk kondisi pendidikan yang tak jauh beda dengan yang kuhadapi sekarang. Disitulah sebenarnya aku mulai agak nyaman dengan menjadi guru walaupun masih kaku, bahkan di awal sangat kaku sekali. Padahal sebenarnya pengalamanku tampil di depan publik juga cukup banyak terkait akitivitasku di berbagai organisasi. Soal penampilan, sekali lagi tidak aku perhatikan sama sekali, yang penting sesuai dengan ketentuan dan kelihatan pantas dilihat saja.  Bahkan dititik ini pun sebenarnya belum memutuskan kelak saya akan menjadi …….. GURU SEJARAH.

            Waktu terus bergulir dan dinamika kehidupan terus berjalan. Di awal kuliah sebenarnya memang membayangkan serta merencanakan untuk kuliah 5 tahun bahkan sempat ada keinginan untuk menambahnya menjadi 7 tahun, tapi apa daya keadaan membuatku akhirnya kuliah 5 tahun. Bayanganku dulu, 4 tahun aku akan belajar materi dan teori-teorinya sedangkan satu tahun kugunakan untuk membangun jaringan perkenalan dan mencari pengalaman kerja sebanyak-banyaknya. Bayangan itu tidak berjalan mulus sebenarnya karena pada kenyataanya justru pengalaman kerja dan belajar kalah dengan pengalaman dolan untuk menambah jaringan perkenalan. Setelah 5 tahun kuliah akhirnya waktu lulus tiba. Prosesi wisudapun berjalan dengan lancar walaupun diawali dengan tragedy telat masuk gedung wisuda, perut mulas karena kebanyakan sambal waktu makan bakso malam sebelumnya, dan sumpah serapah tukang foto karena aku tilap bersama seorang senior ketika dia membuka pintu untuk meloading barang propertynya. Entah nasib apa setelah lulus kuliah aku mencoba mendaftar saja ikut program SM3T karena sekali lagi belum ada bayangan mau apa. Bayanganku Cuma satu sementara mau hidup di Jogja dulu dan kerja serabutan. Ealah. Malah saya mulus melalui tes demi tes nya dan apakah saya mempersiapkan diri, tidak sama sekali. Aku ingat betul ketika hari Senin itu ada tes akademik, minggu sebelumnya aku masih bermain arung jeram dengan kakakku dan teman-temanku dan malam harinya aku tepar sampai pagi terus mandi dan ikut tes. Tes kesehatan maupun tes wawancara juga berjalan sangat lancar sampai kemudian pembekalan di Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta. Dan kemudian menjadi guru di SMA Negeri 1 Pining, Kabupaten Gayo Lues, Aceh.

            Ketika menjadi guru SM3T ini lah, aku mulai menemukan jatidiri untuk menjadi guru seperti apa. Aku akui di awal bekerja aku masih sangat kaku dan sering tidak bisa mengontrol emosi. Bahkan seing muncul pikiran apakah saya ini layak menjadi guru.? Hmmmm. Karena menjadi guru dari awal memang tidak ada dalam bayangangku. Menjelang lulus kuliah malah sempat berpikir untuk menjadi penulis dengan berpetualang menjelajah negeri. Tidak ada bayangan profesi guru, sampai aku keterima program SM3T sekalipun. Dan entah mengapa setelah lepas dari kontrak program SM3T, mendapat informasi jika sekolahku dulu terdapat lowongan pekerjaan menjadi Guru. Padahal waktu itu juga aku baru membuka warung kopi. Akhirnya aku mendatfar dan kemudian menjadi guru sampai sekarang.  Terkadang pikiran ini menerobos ke masa lalu, dimana waktu remaja yang bukanlah orang pintar nan berprestasi, kuliah pun juga tidak terlalu memperhartikan penampilan sekarang harus menjadi guru yang memberikan pengajaran baik soal kecerdasan intelektual maupun spiritual kepada anak-anak generasi masa depan bangsa. Aku yang dulunya bukan representasi manusia yang baik dan kebanggaan banyak orang kini harus menjadi percontohan tentang makhluk yang baik itu seperti apa?. Dan sejujurnya pikiran atau perasaan ,” LAYAKKAH/PANTASKAH SAYA MENJADI GURU terus menghinggapi.

                                                                       

 

                                                                                                            Pati, 29 Agustus 2020