Senin, 25 Januari 2021
SEJARAH PERKEMBANGAN PATI SEBAGAI KOTA MODERN
Pati merupakan sebuah kabupaten yang berada di utara Pulau Jawa. Wilayah ini memiliki sejarah menarik terkait politik dan keberadaannya yang strategis sebagai lalu lintas perdagangan baik dari darat maupun laut. Karena letaknya yang strategis, membuat dinamika perkembangan wilayah Pati mengalami pasang surut. Hal itu juga akibat kebijakan politik beberapa pemimpin yang pernah berkuasa di wilayah Pati. Sebagian besar memilih untuk melawan pemerintah besar yang sedang berkuasa. Tetapi dalam tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar mengenai keputusan politik para penguasa Pati tersebut. Tulisan ini akan mencoba membahas salah satu dinamika perkembangan wilayah yang pengaruhnya bisa kita lihat dan rasakan di zaman sekarang. Fakus pembahasan akan menitikberatkan pada perkembangan Kota Pati menuju wilayah yang modern dengan pengaruh Eropa atau Barat.
Wujud Kota Pati yang kita kenal sekarang juga tidak jauh dari sentuhan para Kolonialis Belanda dimana mereka menjadikan Pati sebagai basis kontrol terhadap daerah-daerah yang berada pesisir utara Pantai Utara Jawa yang berbatasan dengan Jawa Timur. Pati dikuasai oleh Kolonial Belanda pasca terjadinya peritiwa Geger Pacina. Pemilihan Pati Sebagai basis kontrol tidak lepas dari revolusi yang dijalankan Daendels dengan pemilihan kepala daerah yang digaji oleh pemerintah Kolonial Belanda dan pembangunan Jalan Pos Raya Daendels. Perubahan ini bermula ketika penunjukkan Trah Tjondronegoro yang berasal dari Jawa Timur untuk menduduki jabatan-jabatan kepala daerah di wilayah pesisir utara Jawa Tengah, tidak terkecuali dengan Pati. Pada tahun 1808 ditunjuk Bupati Pati yang berasal dari Lamongan, Bupati tersebut di Pati dikenal dengan nama Kiai Adipati Tjondronegoro atau Tjondronegoro I. Sepertinya ada pertimbangan besar mengenai pengangkatan ini salah satunya adalah usaha meredam gerakan perlawanan di pesisir utara khususnya Pati dan mengintegrasikan Pati yang sebelumnya terpecah menjadi beberapa wilayah yang beberapa di antaranya adalah Pati Kasepuhan (Pati Kulon), Pati Kanoman (Pati Wetan), dan Juwana. Pada tahap pertama ini, Juwana masih menjadi Kabupaten sendiri sebelum nantinya digabung dibawah pemerintahan Tjondronegoro lain. Bupati Tjondronegoro I inilah kemudian menjadi bupati yang digaji langsung oleh pemerintahan Kolonial Belanda dan menjadi cikal bakal pembangunan kota Pati modern. Perubahan Kota Pati menjadi modern mengikuti pembangunan Jalan Pos Raya Daendels yang melewati Pati. Sepertinya oleh pemerintah Kolonial Belanda, Pati diproyeksikan menjadi salah satu kota yang menjadi pos penghubung sepanjang jalan raya dari Anyer sampai Panarukan. Seperti yang diketahui pembangunan jalan Pos Raya tersebut, salah satu pengaruhnya adalah merevolusi pola kehidupan sosial manusia yang awalnya memiliki ketergantungan terhadap sungai sebagai lalu lintas beralih ke jalur darat sehingga kemudian pembangunan sarana dan prasarana berupa banguna dan pemukiman terpusat mengikuti jalan pos raya ini.
Pembangunan Pati yang modern kemudian terus berlanjut dan puncaknya adalah ketika pemindahan Ibukota Karesidenan yang awalnya di Jepara ke Pati. Pemindahan ini merupakan lanjutan dari dibangunnya Jalan Pos Raya Daendels. Pemindahan ini terjadi di tahun 1830 ketika bupati dijabat oleh Kanjeng Pangeran Ario Tjondro Adinegoro dan Residen dari Belanda dijabat oleh Willem de Vogel. Seorang penulis Belanda yaitu Van Der Lith menuliskan bahwa perubahan administrasi ibukota dan kedudukan residen dari Jepara ke Pati disebabkan Jepara mengalami penurunan kemakmuran. Sejak tahun 1810, wilayah Jepara tidak seramai tahun sebelumnya karena wilayah ini terletak di ujung yang jauh dan menjorok serta pelabuhannya mengalami kemunduran.
Dari peta yang dikeluarkan tahun 1894 kita bisa melihat bahwa pola pemukiman di Kota Pati sudah memusat. Sementara jalur pos raya Daendels dibangun lurus menembus Kota Pati kemudian berbelok di Desa Kalidoro. Artinya jalan itu dibuat lurus untuk kemudian dilanjutkan dengan pembangunan sarana dan prasarana bangunan perkantoran, sarana hiburan, dan failitas public yang mendukung pemerintahan Pati baik sebagai Kabupaten dan juga Ibukota Karesidenan. Revolusi selanjutnya terjadi ketika pembangunan rel kereta api oleh Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). Pembangunan ini bertujuan untuk mempermudah jalur distribusi hasil industri dari Pati. Hasil industry ini meliputi industry pertanian (gula tebu, tepung tapioka, dan lain-lain), kayu jati, tambang, perikanan, dan lain-lain.
Peta tahun 1913 memperjelas bagaimana wujud Pati yang sudah menjadi kota modern dengan sentuhan Eropa. Kita bisa melihat dimana angka 2 dalam peta tersebut menunjukkan lokasi kantor Asisten Residen yang berdekatan dengan Stasiun yang ditunjukkan dengan angka 1. Selain itu juga didirikan kantor pos (angka 5), Sekolah Eropa (Angka 4), dan Gedung Hiburan/Societeit (Angka 3). Jalur kereta api yang sudah dibangun terlihat membelah alun-alun yang berdekatan dengan kantor Bupati. Didekat alun-alun terdapat kampung Kauman yang dulunya diperuntukkan untuk orang-orang Arab dan Kampung Pecinan untuk orang-orang Cina (angka 6). Bagaimana kita lihat pembangunan sarana dan prasarana tersebut memanjang sepanjang jalan Pos Raya Daendels (sekarang menjadi jalan Panglima Sudirman).
Terakhir untuk mengetahui lebih dalam bagaimana pembentukan Pati Modern kita bisa mengacu pada peta tahun 1943. Peta ini menggambarkan jelas bagaimana bentuk modern dan penataan yang baik dengan campur tangan pemerintah Hindia Belanda. Simbol dalam peta itu menggambarkan Merah yang di Blok sebagai pemukiman padat dan terbuat dari batu. Sednagkan garis merah menunjukkan jalan besar yang biasanya sudah diperkeras selebar 2 s/d lebih dari 4 M. dengan lebar tersebut bisa dilewati untuk mobil. Simbol garis merah putus-putus merupakan jalan yang tidak diperkeras dan waktu itu bisa dipakai truk/kendaraan militer. Garis hitam putih dalam peta tersebut menunjukkan jalan kereta api (railroad). Selanjutnya jalan-jalan yang dinomori merupakan jalan-jalan kecil yang dinomori itu jenisnya beragam berupa gang, jalan yang bisa dilewati saat hujan atau hanya pada musim kering. Dalam peta tersebut menunjukkan Pati dengan dukungan jalan yang sedemikian rupa dan tertata dengan pemusatan pada satu wilayah. Untuk menandai pemusatan pembangunan tersebut maka dulu dibangun tugu Golong Gilig yang menjadi penunjuk batas wilayah, dan di Pati tugu ini dikenal dengan nama Tugu Pentol Godi. Pentol Godi yang tersisa ini tinggal dua yang dulunya ada empat, yaitu sisi utara dekat dengan RSUD. Soewondo dan sisi selatan yang ada di Desa Blaru.
Sisa-sisa pembangunan Pati menjadi kota modern di era Kolonial Belanda masih terlihat sampai sekarang. Bangunan-bangunan Kolonial sebagian masih tersisa dan sebagian lain sudah menghilang. Sebagian yang ada tersebut perlu diselamatkan. Bangunan-bangunan bergaya Kolonial bisa kita lihat sepanjang jalan Pangliman Sudirman seperti RS. Panti Rukmi, Biara San Damiano (biarawati/susteran Katolik), kantor Kodim Pati, Kantor CPM Pati, Gedung Juang, SMP 5 Pati, perkantoran yang dulunya bekas kantor Asisten Residen Pati, Rumah Dinas Karesidenan, dan SMA Negeri 1 Pati. Bahkan di Jalan Pangeran Diponegoro juga masih beberapa bangunan Kolonial yang masih berdiri seperti Dokkes Bhayangkara (dulunya merupakan salah satu rumah priyayi Jawa), MTB Bruderan, STAKK Wiyata Wacana, dan lain-lain. Sisa-sisa bangunan Kolonial ini kalau tidak segera diselamatkan mungkin akan mengalami kehancuran diganti dengan bangunan modern dan kembali menghapuskan satu fase penting dalam proses perkembangan Kota ini. Mungkin wilayah Kota Pati bisa diusulkan menjadi kawasan Cagar Budaya seperti Kota Lama Semarang, sehingga masyarakat Pati tidak mengalami amnesia sejarah dan menunjukkan Pati menjadi kota modern dan memiliki nilai penting bagi pemerintah Kolonial Belanda di masa itu yang tentunya menjadi pelajaran penting bagi masa kini dan masa akan datang. kalau mencermati perkembangan Pati menjadi kota modern, cenderung Pati di Zaman Kolonial Belanda sangat maju dan masyarakatnya beradab dibuktikan dengan keberadaan gedung hiburan atau Societeit sebagai pagelaran budaya dan untuk pertunjukkan tonil tapi saat ini Pati tidak memiliki satupun gedung yang memang khusus diperuntukkan untuk pagelaran seni budaya. Bahkan dulu Pati juga memiliki gedung bioskop yang hakan dalam perjalannya sampai berjumlah 3 (Gelora, Delta, dan Indra) menunjukkan modernitas benar-benar dirasakan masyarakat Pati sejak zaman Kolonial Belanda.
( Foto gedung Juang 45 yg terletak di Jln. Panglima sudirman. Sumber: radarkudus.jawapos.com)
(Rumah Dinas Residen Pati. Sumber: kompasiana.com)
Sumber:
Tjokro Hadiwikromo. (1934). Pakem: Sedjarahe Poro Familie naloerine leloehoer ing Pathi lan Djoewono sapitoeroete. Semarang: The Koe Lim
Collection Dutch Maps Universitas Leiden.
Langganan:
Postingan (Atom)