MENJADI MANUSIA BEBAS
Kumpulan tulisan sebagai proses belajar memaknai kehidupan
Senin, 25 Januari 2021
SEJARAH PERKEMBANGAN PATI SEBAGAI KOTA MODERN
Rabu, 23 September 2020
Tidak Mudah Menjadi Guru Sejarah Di Indonesia
Kamis, 03 September 2020
BELAJAR DI MANA SAJA DAN KAPAN SAJA
Senin, 31 Agustus 2020
TERPAKSA DARING
Sabtu, 29 Agustus 2020
Menjadi Guru, Sebuah “Kecelakaan” Dalam Hidup
Berangkat kerja bersepatu dan berseragam dengan tas punggung berisi laptop dengan segala temannya. Tidak lupa jam yang dibeli dari Malioboro dilirik untuk memastikan berangkat tepat waktu, iya tepat waktu jam masuknya walaupun kadang terlambat sedikit. Begitulah gambaranku sekarang di usia kepala tiga. Kata beberapa buku menyangkut psikologi “titen”, umur segitu adalah umur menuju matang. Mendekati matang sebenarnya karena kalaupun jabatan di kantor dinas paling masih staf kasi (Kepala Seksi) dengan golongon IIIC. Tapi aku masih dibawah itu, aku masih menjadi honorer. Jadi itu masih menjadi bayangan yang visioner, ingat dicatat ya VISIONER. Dengan gambaran seperti itu pasti sudah tahu pekerjaanku apa diusia kepala tiga ini yang tentu sudah berkeluarga. Untuk lebih jelasnya, dan menghindari pertikaian publik maka kusebutkan saja, sekarang aku menjadi GURU. Guru adalah semacam makhluk mulia yang diturunkan di dunia untuk memberikan penerangan bagi kehidupan manusia. Dia semacam pelita yang dengan cahayanya mampu membuat terang jalan masa depan manusia. Seperti itu diksi-diksi indah yang sering aku dapat ketika perayaan Hari Guru. Seebelumnya mohon maaf jika kalimat yang saya pakai seperti membuat guru itu biasa saja. Karena memang sebenarnya guru itu juga manusia, bukan dewa kata mas Soe Hok Gie yang kadang saya pakai menjadi story WA atau pun Instagram.
Di masa remajaku, bisa jadi aku termasuk makhluk yang tidak visioner, karena hidupku habis untuk bermain. Tahun 200an, rental playstation sedang menjamur, VCD (Video Compact Disc) sedang marak datang di ruang-ruang keluarga menggantikan video dengan kaset bentuk batu bata. Bahkan yang sebelumnya tidak punya alat memutar video tersebut, menjadi punya VCD termasuk keluargaku, dan mobil mainan Tamiya mengekspansi dan membumi hanguskan mainan mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali. Di tengah perkembangan jaman tersebut, aku masuk sekolah menengah pertama dan kemudian satu tingkat diatasnya yaitu SMA. Mengapa aku bilang tidak visioner? Karena memang di usia itu, tidak pernah terpikirkan masa depan ku akan seperti apa, isinya cuma bermain dan bermain. Posisiku di keluarga juga mendukung. Aku anak bungsu dari empat keluarga sehingga cukup dimanja, dan ketika aku sekolah kebetulan ekonomi keluarga sedang membaik sejak berjualan SATE KAMBING. Jadinya dengan kegiatan yang selalu bermain tersebut aku belajar juga berjalan mengikuti arus dan dengan cita-cita yang terus berganti. Dari menjadi ilmuwan, professor, penemu, dan banyak hal lain. Bahkan di masa SMA, cita-citaku terus berganti, dan mulai fokus ketika berkenalan dengan profil tokoh bernama Soe Hok GIe. Setelah melihat film dan membaca tulisan-tulisan yang mengulas beliau, maka dengan ketetapan hati, besok saat saya kuliah mau jadi Pecinta Alam. Nah ini cita-cita yang lumayan tercapai secara status. Kemudian mendekati lulus SMA, aku pun belum mengambil besok mau kerja apa, Cuma satu yang sudah mantap.. POKOKNYA AMBIL SEJARAH.
Mengapa harus mengambil sejarah?. Nah, dorongan batin ini lahir ketika masih Sekolah Dasar. Entah mengapa ingatan saya cukup baik untuk belajar tentang masa lalu. Kalau membicarakan masa lalu seperti ada semangat tersendiri. Dan itu berlanjut, ke SMP bahkan SMA. Nilai sejarah ku jarang mendapat nilai jelek. Paling remidi hanya sekali dua kali. Bahkan cukup bersombong juga jika pas ulangan mata pelajaran sejarah, banyak pesenan untuk duduk berdekatan denganku. Seperti makluk terganteng walaupun jelek pada saat momen itu rasanya, kehadiranku sebagai manusia sungguh-sungguh terasa. Aduh kenapa jadi mellow begini. Jadi kuputuskan besok saya melanjutkan kuliah di sejarah. Sebenarnya niat ini sudah ada semenjak kelas X SMA. Tetapi waktu kelas X SMA, belum tahu nanti pekerjaan apa setelah lulus jika ambil sejarah. Benar-benar tidak ada bayangan kecuali memang karena suka SEJARAH.
Moment yang menentukan dalam hidup itu terjadi ketika mengambil jurusan dalam kuliah. Sejujurnya waktu itu dalam hati berkata, jika diterima di Sejarah UGM maka saya akan ambil. Walaupun memang sudah mendapatkan PBU semacam PMDK di UNY dan keterima di UM Unnes dan semuanya jurusan Pendidikan sejarah. Soal mengambil jurusan kependidikan inipun aku tidak visioner sama sekali. Karena mengikuti saran orang tua. Wong didalam pikiranku dulu, pokoknya ambil SEJARAH…. titik. Jadilah aku mengambil kuliah di Pendidikan Sejarah UNY. Apakah aku sudah mulai sreg menjadi guru waktu itu?. Jelas belum muncul bayangan untuk aku menjadi guru ketika kuliah pun. Kuliah-kuliah yang berhubungan dengan pedagogi, aku ikuti dengan setengah hati. Bahkan mata kuliah etika profesi keguruanpun aku ikuti dengan setengah hati. Baju putih makak (agak kecoklatan), sepatu kulit warisan almarhum ayah, dan mata merah menggantung kurang tidur, serta tentu saja bisa ditebak wajah tanpa antusias sama sekali waktu mengikuti kuliah tersebut. Yang saya ingat saya cukup bersemangat jika masuk mata kuliah sejarah Indonesia abad 16 ke atas terutama bab kerajaan-kerajaan dan yang berbau dengan sejarah pemikiran dan filsafat. Bahkan mendekati semester akhir aku justru kehilangan semangat dan bahkan ragu dsiertai rasa sedikit menyesal, “mengapa saya ambil pendidikan dan menjadi guru?” Kenapa tidak ambil Ilmu sejarah yang murni. Karena kuliah pendidikan sejarah sendiri hanya membahas dan mempelajari sejarah-sejarah yang tampak di permukaan saja tidak mendalam, begitu pikiranku waktu itu. ketika memandang diri juga, aku sendiri tipe orang yang tidak suka hal tertib apalagi soal kerapian waktu itu. Bahkan soal penampilan tidak pernah kuperhatikan. Pakaian kuliah saja kadang asal comot yang ada di sekretariat atau Hima. Benar-benar tidak ada bakat sama sekali untuk menjadi guru.
Pagi kemarin aku buka linimasa Facebookku. Kubuka tentang story nya dan mataku tertuju pada status ketika aku PPL (praktek mengajar) di salah satu sekolah di tengah kota Jogja. Status-status yang pedas tanpa basa-basi dan mengutuk kondisi pendidikan yang tak jauh beda dengan yang kuhadapi sekarang. Disitulah sebenarnya aku mulai agak nyaman dengan menjadi guru walaupun masih kaku, bahkan di awal sangat kaku sekali. Padahal sebenarnya pengalamanku tampil di depan publik juga cukup banyak terkait akitivitasku di berbagai organisasi. Soal penampilan, sekali lagi tidak aku perhatikan sama sekali, yang penting sesuai dengan ketentuan dan kelihatan pantas dilihat saja. Bahkan dititik ini pun sebenarnya belum memutuskan kelak saya akan menjadi …….. GURU SEJARAH.
Waktu terus bergulir dan dinamika kehidupan terus berjalan. Di awal kuliah sebenarnya memang membayangkan serta merencanakan untuk kuliah 5 tahun bahkan sempat ada keinginan untuk menambahnya menjadi 7 tahun, tapi apa daya keadaan membuatku akhirnya kuliah 5 tahun. Bayanganku dulu, 4 tahun aku akan belajar materi dan teori-teorinya sedangkan satu tahun kugunakan untuk membangun jaringan perkenalan dan mencari pengalaman kerja sebanyak-banyaknya. Bayangan itu tidak berjalan mulus sebenarnya karena pada kenyataanya justru pengalaman kerja dan belajar kalah dengan pengalaman dolan untuk menambah jaringan perkenalan. Setelah 5 tahun kuliah akhirnya waktu lulus tiba. Prosesi wisudapun berjalan dengan lancar walaupun diawali dengan tragedy telat masuk gedung wisuda, perut mulas karena kebanyakan sambal waktu makan bakso malam sebelumnya, dan sumpah serapah tukang foto karena aku tilap bersama seorang senior ketika dia membuka pintu untuk meloading barang propertynya. Entah nasib apa setelah lulus kuliah aku mencoba mendaftar saja ikut program SM3T karena sekali lagi belum ada bayangan mau apa. Bayanganku Cuma satu sementara mau hidup di Jogja dulu dan kerja serabutan. Ealah. Malah saya mulus melalui tes demi tes nya dan apakah saya mempersiapkan diri, tidak sama sekali. Aku ingat betul ketika hari Senin itu ada tes akademik, minggu sebelumnya aku masih bermain arung jeram dengan kakakku dan teman-temanku dan malam harinya aku tepar sampai pagi terus mandi dan ikut tes. Tes kesehatan maupun tes wawancara juga berjalan sangat lancar sampai kemudian pembekalan di Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta. Dan kemudian menjadi guru di SMA Negeri 1 Pining, Kabupaten Gayo Lues, Aceh.
Ketika menjadi guru SM3T ini lah, aku mulai menemukan jatidiri untuk menjadi guru seperti apa. Aku akui di awal bekerja aku masih sangat kaku dan sering tidak bisa mengontrol emosi. Bahkan seing muncul pikiran apakah saya ini layak menjadi guru.? Hmmmm. Karena menjadi guru dari awal memang tidak ada dalam bayangangku. Menjelang lulus kuliah malah sempat berpikir untuk menjadi penulis dengan berpetualang menjelajah negeri. Tidak ada bayangan profesi guru, sampai aku keterima program SM3T sekalipun. Dan entah mengapa setelah lepas dari kontrak program SM3T, mendapat informasi jika sekolahku dulu terdapat lowongan pekerjaan menjadi Guru. Padahal waktu itu juga aku baru membuka warung kopi. Akhirnya aku mendatfar dan kemudian menjadi guru sampai sekarang. Terkadang pikiran ini menerobos ke masa lalu, dimana waktu remaja yang bukanlah orang pintar nan berprestasi, kuliah pun juga tidak terlalu memperhartikan penampilan sekarang harus menjadi guru yang memberikan pengajaran baik soal kecerdasan intelektual maupun spiritual kepada anak-anak generasi masa depan bangsa. Aku yang dulunya bukan representasi manusia yang baik dan kebanggaan banyak orang kini harus menjadi percontohan tentang makhluk yang baik itu seperti apa?. Dan sejujurnya pikiran atau perasaan ,” LAYAKKAH/PANTASKAH SAYA MENJADI GURU terus menghinggapi.
Pati, 29 Agustus 2020
Selasa, 15 Januari 2008
APA KATA SEMESTA?
Aku tidak ingin menjadi pohon bambu yang mengikuti angin, tapi aku ingin menjadi pohon oak yang bergerak menentang angin.
(Soe Hok Gie)
Hari ini Aryo merasa sebal sekali. Keinginannya menjadi seorang yang berpikir dan berjalan dengan arah pikirannya sendiri ditentang oleh orang-orang kesayangannya. Keinginannya untuk menjadi seorang pecinta alam ditentang oleh orang tuanya, kakaknya, bahkan pacarnya sekalipun. Aryo merasa hidupnya bagaikan berada di dalam tempurung kelapa. Ingin rasanya dia meninju kamar kosnya, tapi apa daya tangannya tidak sekeras kulit tembok kamar kosnya. Jangankan merasa sakit, tembokpun tidak merasa mengeluh ketika dipukulnya, yang merasa sakit dan berteriak malah Aryo. Apa kata semesta?
Kekesalan Aryo dimulai seminggu yang lalu, ketika ia mendaftar ikut UKM Pecinta Alam di kampusnya. Pada waktu itu tidak pernah terlintas pikiran sampai masalahnya menjadi sepelik ini. Dia hanya berpikir, kalau mengikuti kegiatan yang positif maka akan disetujui oleh keluarganya. Tapi perkembangannya, ketika pertama kali mengatakan kalau dia mengikuti Pecinta Alam kepada kakaknya, dengan serta merta sang kakak menolak dan tidak mengijinkan Aryo untuk mengikuti kegiatan ini. Kakaknya beralasan kalau kegiatan itu akan mengganggu kuliahnya. Kemudian Aryo meminta ijin kepada ibunya, tetapi ibunya pun tidak mengijinkan. Kebingungan dan kebimbangan kemudian melanda diri Aryo. Kemudian dia mengambil buku kesayangannya “Catatan Seorang Demonstran”. Disana Aryo menemukan kata-kata sakti yang berbunyi “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya.. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung”. Dari kata-kata itu, Aryo semakin memantapkan hati untuk maju terus pantang mundur mengikuti UKM Pecinta Alam di kampusnya. Aryo sadar akan konsekuensi yang diakibatkan nanti.
Aryo sebenarnya ingin bergerak dengan alam pikirannya saat itu. “Kalau mau minta tanda tangan untuk mengikuti pecinta alam, aku malas. Kalau masih tetap keras kepala, minta tanda tangan sama tukang becak saja” kata kakak Aryo. Aryo semakin mendongkol mendengar itu dari mulut kakaknya sendiri. Kemudian ia menjadi bimbang, akankah ia mengikuti kata-kata kakaknya,orang tuanya bahkan pacarnya? “Kita lebih baik putus daripada kamu tidak mau menuruti aku. Aku tidak suka kamu ikut kegiatan pecinta alam atau apalah yang sebangsa dengan itu. Pokoknya aku tidak mau tahu, Okey?” Ultimatum dari Ayunda, pacar Aryo. Kalau Aryo mengikuti kata-kata orang-orang kesayangannya berarti Aryo telah mengesampingkan hati nurani. Dan bisa dikatakan pikirannya tidak berjalan secara mandiri. Kemudian apabila ia berjalan dengan kemauan dan arah pikirannya sendiri ia takut dikatakan tidak berbakti atau durhaka. Apa kata semesta?
Berpikir secara bebas, bertindak dengan jalan pikirannya sendiri tetapi dengan pertimbangan yang matang. Itulah sebenarnya yang diinginkan oleh Aryo. Menjalankan pikiran dengan ditemani belenggu-belenggu ketidakberdayaan, mengalah kepada keadaan, berjalan dengan selalu diiringi dengan tuntunan, apakah Aryo akan selalu begini? Apakah demokrasi berpikir akan terbentur masalah-masalah? Aryo tidak habis pikir, sejak jaman penjajahan Belanda sampai era sekarang, kebebasan berpikir dikekang. Aryo menjadi ingat kasus Bung Munir. Bagaimana seorang pejuang HAM dibunuh. Mungkin ini juga termasuk pengekangan kebebasan berpikir.
Satu minggu kemudian, pelatihan dasar di UKM Pecinta Alam dimulai. Pelatihan ini tidak seperti apa yang dibayangkan olehnya. Pelatihan ini sangat berat. Tapi Aryo tidak ingin keluar dari pelatihan ini, walaupun berkali-kali keinginan keluar itu datang. Tetapi ia telah membulatkan tekad. Dia ingin membuktikan kepada orang-orang kesayangannya bahwa pilihannya ini tidak salah dan dia bertekad bahwa akan mendapatkan hal-hal yang positif dalam mengikuti kegiatan ini. Apabila ia keluar dan menyerah dengan keadaan ini, apa kata semesta?
“Gung, aku ingin keluar dari pelatihan ini. Aku sudah tidak kuat!” keluh Aryo kepada Agung, teman satu kontrakannya. “Ah, kau ini! Kaukan telah membulatkan tekad untuk ikut kegiatan ini. Kalau sudah mantap mengapa harus datang ragu?” kata Agung. Kata yang diucapkan oleh Agung ini coba diresapi oleh Aryo. Keraguan merupakan musuh utama dari manusia, sedangkan belenggu-belenggu yang membatasi gerak pikiran adalah merupakan antek-antek dari keraguan itu. Apakah Aryo mampu untuk melawan penjajah alam pikiran manusia yang berbangga menyebut dirinya keraguan? Kebebasan pikiran adalah merupakan apa yang dituju oleh Aryo sekarang atau dengan kata lain demokrasi pikir.
Selama satu minggu Aryo telah menyelesaikan separo dari proses pelatihan dan bisa juga disebut penerimaan anggota baru. Dalam waktu satu minggu itu Aryo menjalaninya dengan perjuangan yang bisa dikatakan berat. Disana dia menemukan sahabat-sahabat yang dianggap keluarga sendiri. Rasa solidaritas, saling tolong, dan saling melindungi, itulah yang dirasakan oleh Aryo dalam mengikuti pelatihan yang maha berat ini. Disana dia bersahabat dengan Seypa, Eno, Matra, Noe, dan enam kawan lainnya. “ Bos mari berjuang bersama. Kita akan sama-sama menjadi pecinta alam” teriak Eno menyemangati Aryo ketika Aryo mengikuti proses pelantikan kedua. Semangat kekeluargaan untuk berjuang bersama, itulah yang mampu membuat Aryo bertahan dan ditambah untuk membuktikan bahwa kebebasan pikiran yang diperjuangkannya harus berakhir dengan hasil yang memuaskan.
Seminggu kemudian pelantikan yang terakhir diadakan di gunung Lawu. Disini perjuangan Aryo semakin berat. Dia dan kesembilan temannya berjuang saling membantu untuk menyelesaikan pelantikan yang keempat dan terakhir ini.
Selain melaksanakan pelantikan, Aryo juga mencoba memahami begitu besar keagungan Allah. Allah adalah Pencipta Maha Sempurna. Begitu besar rahmat yang diberikan kepada manusia. Saat melintasi alam pegunungan, Aryo begitu takjub melihat panorama alam yang sangat luar biasa indahnya. “Panorama yang begitu indah, mengapa aku dilarang untuk melihat, menikmati, dan menjaganya?” Tanya Aryo dalam hati.
Setelah melaksanakan pelantikan keempat dan resmi menjadi anggota pecinta alam di kampusnya, Aryo semakin terlihat kedewasaannya. Dia sangat puas dengan apa yang telah dilakukannya. Walaupun itu penuh dengan tentangan dan hambatan. Dia puas telah mampu membebaskan pikiran dari ketidakberdayaan. Dalam kerangka berpikirnya, memang terlihat egois dan bertindak semau sendiri. Tapi Aryo hanya ingin berjalan dengan arah pikirannya sendiri dan dia sudah siap menanggung segala resiko yang nantinya akan datang.
Suatu ketika, akhirnya kita tiba pada suatu hari yang biasa. Dimana ketidakberdayaan datang bertamu. Aryo mencoba melawan ketidakberdayaan itu dengan membebaskan diri dari ketidakberdayaan dan mencoba untuk berpikir secara bebas, berjalan dengan kemauan sendiri. Kalau kita tidak mampu membebaskan pikiran kita dan berjalan dengan kemauan sendiri dengan pertimbangan yang matang, bagaimana kita mau mandiri? Apa kata semesta?