Senin, 25 Januari 2021

SEJARAH PERKEMBANGAN PATI SEBAGAI KOTA MODERN

Pati merupakan sebuah kabupaten yang berada di utara Pulau Jawa. Wilayah ini memiliki sejarah menarik terkait politik dan keberadaannya yang strategis sebagai lalu lintas perdagangan baik dari darat maupun laut. Karena letaknya yang strategis, membuat dinamika perkembangan wilayah Pati mengalami pasang surut. Hal itu juga akibat kebijakan politik beberapa pemimpin yang pernah berkuasa di wilayah Pati. Sebagian besar memilih untuk melawan pemerintah besar yang sedang berkuasa. Tetapi dalam tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar mengenai keputusan politik para penguasa Pati tersebut. Tulisan ini akan mencoba membahas salah satu dinamika perkembangan wilayah yang pengaruhnya bisa kita lihat dan rasakan di zaman sekarang. Fakus pembahasan akan menitikberatkan pada perkembangan Kota Pati menuju wilayah yang modern dengan pengaruh Eropa atau Barat. Wujud Kota Pati yang kita kenal sekarang juga tidak jauh dari sentuhan para Kolonialis Belanda dimana mereka menjadikan Pati sebagai basis kontrol terhadap daerah-daerah yang berada pesisir utara Pantai Utara Jawa yang berbatasan dengan Jawa Timur. Pati dikuasai oleh Kolonial Belanda pasca terjadinya peritiwa Geger Pacina. Pemilihan Pati Sebagai basis kontrol tidak lepas dari revolusi yang dijalankan Daendels dengan pemilihan kepala daerah yang digaji oleh pemerintah Kolonial Belanda dan pembangunan Jalan Pos Raya Daendels. Perubahan ini bermula ketika penunjukkan Trah Tjondronegoro yang berasal dari Jawa Timur untuk menduduki jabatan-jabatan kepala daerah di wilayah pesisir utara Jawa Tengah, tidak terkecuali dengan Pati. Pada tahun 1808 ditunjuk Bupati Pati yang berasal dari Lamongan, Bupati tersebut di Pati dikenal dengan nama Kiai Adipati Tjondronegoro atau Tjondronegoro I. Sepertinya ada pertimbangan besar mengenai pengangkatan ini salah satunya adalah usaha meredam gerakan perlawanan di pesisir utara khususnya Pati dan mengintegrasikan Pati yang sebelumnya terpecah menjadi beberapa wilayah yang beberapa di antaranya adalah Pati Kasepuhan (Pati Kulon), Pati Kanoman (Pati Wetan), dan Juwana. Pada tahap pertama ini, Juwana masih menjadi Kabupaten sendiri sebelum nantinya digabung dibawah pemerintahan Tjondronegoro lain. Bupati Tjondronegoro I inilah kemudian menjadi bupati yang digaji langsung oleh pemerintahan Kolonial Belanda dan menjadi cikal bakal pembangunan kota Pati modern. Perubahan Kota Pati menjadi modern mengikuti pembangunan Jalan Pos Raya Daendels yang melewati Pati. Sepertinya oleh pemerintah Kolonial Belanda, Pati diproyeksikan menjadi salah satu kota yang menjadi pos penghubung sepanjang jalan raya dari Anyer sampai Panarukan. Seperti yang diketahui pembangunan jalan Pos Raya tersebut, salah satu pengaruhnya adalah merevolusi pola kehidupan sosial manusia yang awalnya memiliki ketergantungan terhadap sungai sebagai lalu lintas beralih ke jalur darat sehingga kemudian pembangunan sarana dan prasarana berupa banguna dan pemukiman terpusat mengikuti jalan pos raya ini. Pembangunan Pati yang modern kemudian terus berlanjut dan puncaknya adalah ketika pemindahan Ibukota Karesidenan yang awalnya di Jepara ke Pati. Pemindahan ini merupakan lanjutan dari dibangunnya Jalan Pos Raya Daendels. Pemindahan ini terjadi di tahun 1830 ketika bupati dijabat oleh Kanjeng Pangeran Ario Tjondro Adinegoro dan Residen dari Belanda dijabat oleh Willem de Vogel. Seorang penulis Belanda yaitu Van Der Lith menuliskan bahwa perubahan administrasi ibukota dan kedudukan residen dari Jepara ke Pati disebabkan Jepara mengalami penurunan kemakmuran. Sejak tahun 1810, wilayah Jepara tidak seramai tahun sebelumnya karena wilayah ini terletak di ujung yang jauh dan menjorok serta pelabuhannya mengalami kemunduran.
Dari peta yang dikeluarkan tahun 1894 kita bisa melihat bahwa pola pemukiman di Kota Pati sudah memusat. Sementara jalur pos raya Daendels dibangun lurus menembus Kota Pati kemudian berbelok di Desa Kalidoro. Artinya jalan itu dibuat lurus untuk kemudian dilanjutkan dengan pembangunan sarana dan prasarana bangunan perkantoran, sarana hiburan, dan failitas public yang mendukung pemerintahan Pati baik sebagai Kabupaten dan juga Ibukota Karesidenan. Revolusi selanjutnya terjadi ketika pembangunan rel kereta api oleh Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). Pembangunan ini bertujuan untuk mempermudah jalur distribusi hasil industri dari Pati. Hasil industry ini meliputi industry pertanian (gula tebu, tepung tapioka, dan lain-lain), kayu jati, tambang, perikanan, dan lain-lain.
Peta tahun 1913 memperjelas bagaimana wujud Pati yang sudah menjadi kota modern dengan sentuhan Eropa. Kita bisa melihat dimana angka 2 dalam peta tersebut menunjukkan lokasi kantor Asisten Residen yang berdekatan dengan Stasiun yang ditunjukkan dengan angka 1. Selain itu juga didirikan kantor pos (angka 5), Sekolah Eropa (Angka 4), dan Gedung Hiburan/Societeit (Angka 3). Jalur kereta api yang sudah dibangun terlihat membelah alun-alun yang berdekatan dengan kantor Bupati. Didekat alun-alun terdapat kampung Kauman yang dulunya diperuntukkan untuk orang-orang Arab dan Kampung Pecinan untuk orang-orang Cina (angka 6). Bagaimana kita lihat pembangunan sarana dan prasarana tersebut memanjang sepanjang jalan Pos Raya Daendels (sekarang menjadi jalan Panglima Sudirman).
Terakhir untuk mengetahui lebih dalam bagaimana pembentukan Pati Modern kita bisa mengacu pada peta tahun 1943. Peta ini menggambarkan jelas bagaimana bentuk modern dan penataan yang baik dengan campur tangan pemerintah Hindia Belanda. Simbol dalam peta itu menggambarkan Merah yang di Blok sebagai pemukiman padat dan terbuat dari batu. Sednagkan garis merah menunjukkan jalan besar yang biasanya sudah diperkeras selebar 2 s/d lebih dari 4 M. dengan lebar tersebut bisa dilewati untuk mobil. Simbol garis merah putus-putus merupakan jalan yang tidak diperkeras dan waktu itu bisa dipakai truk/kendaraan militer. Garis hitam putih dalam peta tersebut menunjukkan jalan kereta api (railroad). Selanjutnya jalan-jalan yang dinomori merupakan jalan-jalan kecil yang dinomori itu jenisnya beragam berupa gang, jalan yang bisa dilewati saat hujan atau hanya pada musim kering. Dalam peta tersebut menunjukkan Pati dengan dukungan jalan yang sedemikian rupa dan tertata dengan pemusatan pada satu wilayah. Untuk menandai pemusatan pembangunan tersebut maka dulu dibangun tugu Golong Gilig yang menjadi penunjuk batas wilayah, dan di Pati tugu ini dikenal dengan nama Tugu Pentol Godi. Pentol Godi yang tersisa ini tinggal dua yang dulunya ada empat, yaitu sisi utara dekat dengan RSUD. Soewondo dan sisi selatan yang ada di Desa Blaru. Sisa-sisa pembangunan Pati menjadi kota modern di era Kolonial Belanda masih terlihat sampai sekarang. Bangunan-bangunan Kolonial sebagian masih tersisa dan sebagian lain sudah menghilang. Sebagian yang ada tersebut perlu diselamatkan. Bangunan-bangunan bergaya Kolonial bisa kita lihat sepanjang jalan Pangliman Sudirman seperti RS. Panti Rukmi, Biara San Damiano (biarawati/susteran Katolik), kantor Kodim Pati, Kantor CPM Pati, Gedung Juang, SMP 5 Pati, perkantoran yang dulunya bekas kantor Asisten Residen Pati, Rumah Dinas Karesidenan, dan SMA Negeri 1 Pati. Bahkan di Jalan Pangeran Diponegoro juga masih beberapa bangunan Kolonial yang masih berdiri seperti Dokkes Bhayangkara (dulunya merupakan salah satu rumah priyayi Jawa), MTB Bruderan, STAKK Wiyata Wacana, dan lain-lain. Sisa-sisa bangunan Kolonial ini kalau tidak segera diselamatkan mungkin akan mengalami kehancuran diganti dengan bangunan modern dan kembali menghapuskan satu fase penting dalam proses perkembangan Kota ini. Mungkin wilayah Kota Pati bisa diusulkan menjadi kawasan Cagar Budaya seperti Kota Lama Semarang, sehingga masyarakat Pati tidak mengalami amnesia sejarah dan menunjukkan Pati menjadi kota modern dan memiliki nilai penting bagi pemerintah Kolonial Belanda di masa itu yang tentunya menjadi pelajaran penting bagi masa kini dan masa akan datang. kalau mencermati perkembangan Pati menjadi kota modern, cenderung Pati di Zaman Kolonial Belanda sangat maju dan masyarakatnya beradab dibuktikan dengan keberadaan gedung hiburan atau Societeit sebagai pagelaran budaya dan untuk pertunjukkan tonil tapi saat ini Pati tidak memiliki satupun gedung yang memang khusus diperuntukkan untuk pagelaran seni budaya. Bahkan dulu Pati juga memiliki gedung bioskop yang hakan dalam perjalannya sampai berjumlah 3 (Gelora, Delta, dan Indra) menunjukkan modernitas benar-benar dirasakan masyarakat Pati sejak zaman Kolonial Belanda.
( Foto gedung Juang 45 yg terletak di Jln. Panglima sudirman. Sumber: radarkudus.jawapos.com)
(Rumah Dinas Residen Pati. Sumber: kompasiana.com) Sumber: Tjokro Hadiwikromo. (1934). Pakem: Sedjarahe Poro Familie naloerine leloehoer ing Pathi lan Djoewono sapitoeroete. Semarang: The Koe Lim Collection Dutch Maps Universitas Leiden.

Rabu, 23 September 2020

Tidak Mudah Menjadi Guru Sejarah Di Indonesia

Mau percaya atau tidak, sungguh tidak mudah menjadi guru sejarah di Indonesia. Di mulai dari awal mau menjadi guru dengan sekolah mengambil jurusan sejarah saja sudah mendapat cobaan dengan cibiran dan keraguan dari sekeliling kita seperti keluarga dan mungkin orang-orang di sekitar kita. Ambil kok sejarah, gak bisa buka les-les an, dapat tambahan duit darimana? Sedangkan yang lain berkata,” mau jadi apa besok ambil sejarah?”. Untung hati ini buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, bisa pecah seperti gelas kaca yang bisa buat bercermin. Itu baru awal saja sebelum berproses untuk menuju sah nya mengajar sejarah. Ketika sudah kuliah pendidikan sejarah, otak kami serasa diaduk karena materi yang didapatkan hampir sebagian bisa berbeda dengan apa yang didapatkan ketika sekolah. Apalagi godaan diskusi-diskusi liar tentang sejarah yang kontroversial. Selain itu belum lagi diberikan tugas yang menguji daya tahan mata dengan tumpukan buku yang banyak. Belum nanti diperdebatkan di dalam ruang kelas. Ada lagi yang harus kuat menahan rasa kantuk di kelas, dan tidak jarang harus menerima ancaman jika sering bertanya. Pengalaman penulis bahkan di antara beberapa teman penulis melambaikan tangan dan memilih keluar dalam perkuliahan pendidikan sejarah dengan beragam alasan. Kemudian, di saat kuliahpun sudah diultimatum untuk tampil rapi dengan celana berkain dan rambut yang harus rapi sebagai cerminan guru yang baik. Sepatu harus hitam mengkilat kalau tidak jangan harap dapat nilai A pada mata kuliah etika profesi keguruan. Belum rasanya kemudian bagaimana menahan grogi yang teramat sangat ketika peer teaching sampai nanti PPL. Selanjutnya yang harus diketahui adalah tidak semua mereka yang lulus jurusan pendidikan sejarah akan mengajar mapel sejarah, bahkan juga diantaranya tidak mengambil pekerjaan menjadi guru. Pada akhirnya TIDAK SEMUA MENJADI GURU SEJARAH. Beragam juga alasan mereka, ada yang tidak siap mental menjadi guru, ada yang karena soal penghasilan yang kinim sebagai guru honorer, dan masih banyak yang lain. Betapa kuliah sejarah juga bisa melahirkan beragam orang dengan profesinya. Sejarah bisa bekerja di segala lini dari pegawai bank, koperasi, wiraswasta, wartawan, penjaga museum, pegawai dinas, dan lain-lain. Dan sebagian meneruskan perjuangannya MENJADI GURU SEJARAH. Apakah kemudian ketika sebagian yang menjadi guru sejarah itu pekerjaanya lancar dan mampu melahirkan generasi-generasi yang sadar sejarah dan memiliki nasionalisme yang kuat? Ohhhhhh.. tidak semudah itu Ferguso…. Saat ini pun guru sejarah kembali diuji ketahanannya dan ke istiqomah-annya menjadi guru sejarah. Baru beberapa tahun mata pelajaran sejarah mendapatkan keberkahan di kurikulum 2013, ehhh .. sudah mendapatkan lagi usikan dengan wacana mapel sejarah akan dikurangi jamnya dan dijadikan mapel pilihan. Baru saja “Sejarah” menjadi primadona untuk di ambil sebagai pilihan jurusan dalam perguruan tinggi, malah mendapat cobaan yang berat seperti ini? Sungguh tega nian yang berpikir sampai seperti itu. Anda belum pernah merasakan bagaimana perjalananan kami sebagai guru sejarah laksana perjalanan Rombongan Biksu Tom Sam Chong untuk mendapatkan Kitab suci? Dari awal saja kami dicibir eh sekarang sudah menjadi guru sejarah masih saja diusik. Apalagi dengan kesadaran tingkat tinggi memang sejarah hanya dianggap penting tetapi tidak menjanjikan sebagai menantu yang baik dengan jaminan lambhorgini dan tas kulit impor dari luar negeri. Tetapi terlepas dari semua itu, percayalah kami sebagai guru sejarah sebenarnya juga selalu punya cita-cita terbaik untuk kemajuan negeri. Walaupun mungkin saja sebagian dari kami guru sejarah tidak mencerminkan guru sejarah yang baik, percayalah itu ujian dalam bentuk lain menuju ke istiqomah-an mmenjadi guru sejarah yang baik berdasar Pancasila dan UUD 1945. Meeerdeeekkkaaa.. Viva Historia.
(sumber karikatur dari http://katarizon.blogspot.com) Temanggung, 23 September 2020

Kamis, 03 September 2020

BELAJAR DI MANA SAJA DAN KAPAN SAJA

Situasi pandemi Covid 19 telah membuat banyak perubahan di segala kehidupan, tidak terkecuali juga dengan dunia pendidikan. Situasi Pandemi Covid 19 ini telah membuat percepatan modern dalam pelaksanaan dunia pendidikan. Seluruh unsur pendidikan dihadapkan pada situasi baru dimana mereka mau tidak mau harus berkenalan dengan pembelajaran jarak jauh. Guru mau tidak mau harus melek teknologi dan berkenalan dengan aplikasi-aplikasi pembelajaran, dan begitupun juga dengan siswa. Timbul pertanyaan kemudian apakah situasi pandemi Covid 19 ini juga akan merevolusi bentuk pendidikan di Indonesia? Seperti yang kita ketahui pendidikan yang saat ini umum digunakan oleh Indonesia merupakan warisan pendidikan barat dengan sistem sekolah. Seiring perkembangan waktu, Sekolah menjadi semacam tempat suci bagi pendidikan dan menjadi syarat wajib orang disebut sukses di kemudian hari. Hal ini kemudian mereduksi semangat pendidikan itu sendiri, karena akhirnya yang terjadi sekolah malah menjadi sesuatu yang identik dengan membosankan bagi sebagian siswa. Mereka hanya merindukan sekolah sebagai media untuk bertemu dengan temannya dan bersenda gurau serta agak tidak antusias ketika dalam kegiatan belajar mengajar. Nah, disini saya mencoba berpikir, dengan situasi seperti ini apakah bisa semangat sekolah dalam dunia pendidikan kembali ke awal terbentuknya sistem sekolah? Yaitu menjadikan anak itu memahami dirinya sebagai manusia yang bijaksana dan berkeadilan dan mampu bertahan hidup. Pembelajaran jarak jauh membuat siswa dan guru tidak lagi terikat dengan sekolah. Tentu saja akan ada nilai positif dan negative di dalamnya. Situasi ini merupakan hal baru di sebagian besar guru sehingga terciptalah semacam shock atau gap, karena ini diluar kebiasaan rutin dalam hal belajar mengajar. Bagi guru yang merupakan generasi milenial tentu tidak menjadi masalah besar, tetapi bagi guru yang sudah berumur, ini menimbulkan kesulitan tersendiri. Yang paling terasa justru sekolah yang tidak mendapatkan sinyal internet secara baik. Beragam upaya dilakukan pemerintah dengan pelaksanaan webinar, pelatihan, dan bahkan bekerja sama dengan televisi pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan kebudayaan juga mengeluarkan panduan-panduan pembelajaran jarak jauh. Banyak guru yang akhirnya melek teknologi dan membiasakan diri untuk pembelajaran jarak jauh.
(Kegiatan webinar yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menunjang pembeljaran jarak jauh) Imajinasi saya meloncat di zaman sebelum mengenal sistem sekolah. Zaman dulu dimasa Kolonial Belanda, sekolah merupakan hal yang modern bagi masyarakt kita. Masyarakat kita belajar untuk bertahan hidup dan mengenali dirinya sebagai manusia dimana saja dan kapan saja. Mereka belajar langsung dengan alam sehingga muncul pengetahuan-pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun- temurun. Sama seperti saat ini Siswa diberi kebebasan untuk belajar dengan media apa saja di lingkungan mereka yang terkait dengan materinya. Di dalam pikiranku kemudian berpikir, apakah kita akan kembali ke masa dulu, dimana belajar bisa dimana saja dan kapan saja, serta tidak terikat lagi dengan sekolah. Apakah nantinya ada perubahan pandangan sehingga belajar mengajar menjadi sesuatu yang tidak lagi membosankan tetapi hal yang menantang. Sekolah hanya menjadi fasilitator dan kegiatan administrasi saja. Semoga situasi ini benar-benar membuat perubahan positif dengan pembelajaran jarak jauh, walaupun saat ini memang kendala utama di pengawasan kepada peserta didik. Proses akan terus berjalan dan waktu yang akan membuktikan apakah dengan situasi pembelajaran jarak jauh ini akan membawa perubahan bagi dunia pendidikan kita?
(Pembelajaran Jarak jauh yang dilakukan oleh penulis)

Senin, 31 Agustus 2020

TERPAKSA DARING

Tahun 2020, memberikan catatan yang luar biasa bagi dunia terkait wabah penyakit Covid 19 atau Corona. Virus penyakit ini telah memberikan pengaruh besar bagi semua bidang kehidupan tidak terkecuali dunia pendidikan. Begitu pun dunia pendidikan di Indonesia. Hampir sebagian besar sekolah akhirnya menerapkan pembelajaran daring atau juga disebut pembelajaran jarak jauh. Tentu saja ini sangat berdampak besar di masyarakat kita. Sesuatu hal yang baru pasti akan diresponse dengan segala pro dan kontranya. Bagi kaum posivistik pendidikan, situasi ini dianggap berkah karena mengakselerasi pendidkkan yang dianggap tidak ada kemajuan yang berarti. Kesan sekolah seperti penjara, membuat manusia menjadi mesin, sekolah yang mengubur impian dan bakat anak dan lain seperti mendapatkan alternatif percepatan perubahan di tengah pandemi ini. Ujian Nasional yang sebelumnya direncanakan tahun depan ditiaadakan, langsung mulai tahun ini ditiadakan. Guru-guru pun menjadi melek teknologi. Anak mendapatkan kebebasan untuk belajar di rumah. Mau belajar sambal tiduran, sambal makan, Tanya sana-sini diperbolehkan dan tentu saja materi pembelajaran dikurangi dengan pemberlakuan kurikulum khusus. Bagi kaum positivistik pendidikan ini lah yang kemudian memberikan kemerdekaan bagi anak. Tetapi pandangan positivistik ini akan selalu berbenturan dengan masyarakat kita yang realistik. Pada akhirnya pembelajaran Daring ini juga menimbulkan masalah besar di masyarakat, anak, dan orang tua sendiri, bahkan banyak guru juga mengalami hal yang sama. Tidak hanya itu pemerataan tingkat teknologi di daerah-daerah juga menjadi masalah besar. Hal ini menunjukkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh panggang daripada api. Dengan gamblang, kondisi ini menunjukkan kesengjangan pembangunan di Indonesia yang dirintis oleh Orde Baru dengan kekuasaan sentralistiknya. Dan yang paling saya lihat, kembali soal mentalitas belajar. Sebenarnya dengan konsep seperti ini akan lebih menyenangkan dalam proses belajarnya ternyata juga malah aku mengalami kesulitan sendiri. Secara pribadi saya juga ingin membebaskan anak untuk ingin belajar apa, tetapi terkadang ketika saya tawarkan ini kepada siswa-siswa saya, saya malah didiamkan tidak ada jawaban. Apa memang sekolah mereka sebelumnya telah merenggut keberanian mereka dalam belajar dalam forum resmi belajar mengajar. Sepertinya memang image sekolah yang terbentuk di sebagian besar anak-anak dan masyarakat ini mengalami pergeseran. Tidak semuanya memang, tetapi sebagian entah besar atau kecil, bagi mereka belajar di sekolah itu sesuatu yang harus “diikuti” terus, dan jangan kamu terlibat aktif di dalamnya. Hal nyata terlihat dalam pembelajaran daring ketakutan akan muncul generasi bodoh. Ketika membaca itu, dalam hati saya bertanya, “apakah saat ini ketergantungan terhadap sekolah sangat begitu tingginya, sehingga mereka belajar sendiri pun takut?. Untuk mengenali kebutuhan diri sendiri terkait intelektualitas mereka tidak berani untuk mengetahuinya. Apa sekolah telah merenggut kepercayaan diri mereka terhadap pembelajaran mandiri? Terlalu banyak bertanya memang aku ini. Kembali ke judul yang saya angkat terpaksa daring. Karena wabah covid ini, akhirnyha guru mau tidak mau harus berkenalan dengan teknologi dan belajar kembali hal-hal yang baru untuk mendukung pembelajaran daring atau jarak jauh. Banyak guru yang bersemangat baik tua dan muda mengikuti webinar-webinar dan pelatihan-pelatihan, ah ya ada barang baru lagi yang kemudian dikenal banyak orang, webinar. Forum virtual seminar, dengan lebih irit segalanya. Mau tidak mau guru harus belajar dan berkenalan dengan aplikasi-aplikasi pembelajaran virtual seperti Edmodo, Microsoft teams, webex, zoom, dan lain-lain, bahkan kemudian guru juga bisa sekaligus menjalani profesi lain sebagai youtuber dengan content-content edukatif. Apakah hal itu bisa menarik siswa? Sebelum terjawab kelak, saya tekankan itu semua baru usaha soal hasil akan bisa dilihat 5-10 tahun yang akan datang. Dan Daring telah membuat semuanya belajar, tetapi muncul kemudian masalah yang besar… SINYAL dan KUOTA DATA. Ingat kesejahteraan kita masih belum adil dan beradab. Selain itu didukung mentalitas belajar secara aktif belum terbentuk dengan baik dikalangan pendidikan kita. Bahkan lingkungan masyarakat kita juga masih belum berkompromi untuk menciptakan pendidikan yang ideal ala negara-negara Skandinavia. Bahkan slogan tokoh pendidikan kita hanya menjadi pemanis dalam mimbar pidato dan terpasang indah melalui plang-plang indah di sudut kantor maupun sekolah. Keterpaksaan dalam melaksanakan pembelajaran Daring ini juga menampakkan bahwa pendidikan kita masih perlu banyak berbenah terkait kemajuan teknologi dan perkembangan jaman. Nyatanya ketika situasi pandemi ini membuat akselerasi perubahan dalam pendidikan masih membuat masyarakat kita baik yang di dalam maupun luar dunia kependidikan sendiri seperti terkena “gegar”. Imajinasi saya terlempar ke masa lalu ketika pertama kali bangsa-bangsa barat itu mengenalkan konsep belajar modern dengan dibangunnya sekolah yang mendengarkan guru dengan duduk manis. Menggeser bentuk padepokan pada zaman dulu, orang bersekolah dengan hitungan sekian jam di atas meja dengan tangan terlipat rapi di meja. Saya mencoba mengimajinasikan sebagai seorang masyarakat Indis waktu itu. akan cukup aneh melihat anak-anak dengan posisi seperti itu. apalagi harus duduk manis dengan sekian jam. Cuma dulu tidak berani menyampaikan karena takut akan pembesar dan para Londo tersebut. Membayangkan anak yang biasanya di sawah, kebun, atau sunga, dan kandang-kandang mereka sekarang harus duduk manis, dan aih mendengarkan. Tetapi bagi mereka yang sudah tersadarkan perkembangan zaman tentu akan lebih belajar dan mencoba untuk memahami gerak zaman tersebut. Terima kasih. Pati, 31 Agustus 2020
(dikutip dari palpos.id)

Sabtu, 29 Agustus 2020

Menjadi Guru, Sebuah “Kecelakaan” Dalam Hidup

 

            Berangkat kerja bersepatu dan berseragam dengan tas punggung berisi laptop dengan segala temannya. Tidak lupa jam yang dibeli dari Malioboro dilirik untuk memastikan berangkat tepat waktu, iya tepat waktu jam masuknya walaupun kadang terlambat sedikit. Begitulah gambaranku sekarang di usia kepala tiga. Kata beberapa buku menyangkut psikologi “titen”, umur segitu adalah umur menuju matang. Mendekati matang sebenarnya karena kalaupun jabatan di kantor dinas paling masih staf kasi (Kepala Seksi) dengan golongon IIIC. Tapi aku masih dibawah itu, aku masih menjadi honorer. Jadi itu masih menjadi bayangan yang visioner, ingat dicatat ya VISIONER. Dengan gambaran seperti itu pasti sudah tahu pekerjaanku apa  diusia kepala tiga ini yang tentu sudah berkeluarga. Untuk lebih jelasnya, dan menghindari pertikaian publik maka kusebutkan saja, sekarang aku menjadi GURU. Guru adalah semacam makhluk mulia yang diturunkan di dunia untuk memberikan penerangan bagi kehidupan manusia. Dia semacam pelita yang dengan cahayanya mampu membuat terang jalan masa depan manusia. Seperti itu diksi-diksi indah yang sering aku dapat ketika perayaan Hari Guru. Seebelumnya mohon maaf jika kalimat yang saya pakai seperti membuat guru itu biasa saja. Karena memang sebenarnya guru itu juga manusia, bukan dewa kata mas Soe Hok Gie yang kadang saya pakai menjadi story WA atau pun Instagram.

            Di masa remajaku, bisa jadi aku termasuk makhluk yang tidak visioner, karena hidupku habis untuk bermain. Tahun 200an, rental playstation sedang menjamur, VCD (Video Compact Disc) sedang marak datang di ruang-ruang keluarga menggantikan video dengan kaset bentuk batu bata. Bahkan yang sebelumnya tidak punya alat memutar video tersebut, menjadi punya VCD termasuk keluargaku, dan mobil mainan Tamiya mengekspansi dan membumi hanguskan mainan mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali. Di tengah perkembangan jaman tersebut, aku masuk sekolah menengah pertama dan kemudian satu tingkat diatasnya yaitu SMA. Mengapa aku bilang tidak visioner? Karena memang di usia itu, tidak pernah terpikirkan masa depan ku akan seperti apa, isinya cuma bermain dan bermain. Posisiku di keluarga juga mendukung. Aku anak bungsu dari empat keluarga sehingga cukup dimanja, dan ketika aku sekolah kebetulan ekonomi keluarga sedang membaik sejak berjualan SATE KAMBING. Jadinya dengan kegiatan yang selalu bermain tersebut aku belajar juga berjalan mengikuti arus dan dengan cita-cita yang terus berganti. Dari menjadi ilmuwan, professor, penemu, dan banyak hal lain. Bahkan di masa SMA, cita-citaku terus berganti, dan mulai fokus ketika berkenalan dengan profil tokoh bernama Soe Hok GIe. Setelah melihat film dan membaca tulisan-tulisan yang mengulas beliau, maka dengan ketetapan hati, besok saat saya kuliah mau jadi Pecinta Alam. Nah ini cita-cita yang lumayan tercapai secara status. Kemudian mendekati lulus SMA, aku pun belum mengambil besok mau kerja apa, Cuma satu yang sudah mantap.. POKOKNYA AMBIL SEJARAH.

            Mengapa harus mengambil sejarah?. Nah, dorongan batin ini lahir ketika masih Sekolah Dasar. Entah mengapa ingatan saya cukup baik untuk belajar tentang masa lalu. Kalau membicarakan masa lalu seperti ada semangat tersendiri. Dan itu berlanjut, ke SMP bahkan SMA. Nilai sejarah ku jarang mendapat nilai jelek. Paling remidi hanya sekali dua kali. Bahkan cukup bersombong juga jika pas ulangan mata pelajaran sejarah, banyak pesenan untuk duduk berdekatan denganku. Seperti makluk terganteng walaupun jelek pada saat momen itu rasanya, kehadiranku sebagai manusia sungguh-sungguh terasa. Aduh kenapa jadi mellow begini. Jadi kuputuskan besok saya melanjutkan kuliah di sejarah. Sebenarnya niat ini sudah ada semenjak kelas X SMA. Tetapi waktu kelas X SMA, belum tahu nanti pekerjaan apa setelah lulus jika ambil sejarah. Benar-benar tidak ada bayangan kecuali memang karena suka SEJARAH.

            Moment yang menentukan dalam hidup itu terjadi ketika mengambil jurusan dalam kuliah. Sejujurnya waktu itu dalam hati berkata, jika diterima di Sejarah UGM maka saya akan ambil. Walaupun memang sudah mendapatkan PBU semacam PMDK di UNY dan keterima di UM Unnes dan semuanya jurusan Pendidikan sejarah. Soal mengambil jurusan kependidikan inipun aku tidak visioner sama sekali. Karena mengikuti saran orang tua. Wong didalam pikiranku dulu, pokoknya ambil SEJARAH…. titik. Jadilah aku mengambil kuliah di Pendidikan Sejarah UNY. Apakah aku sudah mulai sreg menjadi guru waktu itu?. Jelas belum muncul bayangan untuk aku menjadi guru ketika kuliah pun. Kuliah-kuliah yang berhubungan dengan pedagogi, aku ikuti dengan setengah hati. Bahkan mata kuliah etika profesi keguruanpun   aku ikuti dengan setengah hati. Baju putih makak (agak kecoklatan), sepatu kulit warisan almarhum ayah, dan mata merah menggantung kurang tidur, serta tentu saja bisa ditebak wajah tanpa antusias sama sekali waktu mengikuti kuliah tersebut. Yang saya ingat saya cukup bersemangat jika masuk mata kuliah sejarah Indonesia abad 16 ke atas terutama bab kerajaan-kerajaan dan yang berbau dengan sejarah pemikiran dan filsafat. Bahkan mendekati semester akhir aku justru kehilangan semangat dan bahkan ragu dsiertai rasa sedikit menyesal, “mengapa saya ambil pendidikan dan menjadi guru?” Kenapa tidak ambil Ilmu sejarah yang murni. Karena kuliah pendidikan sejarah sendiri hanya membahas dan mempelajari sejarah-sejarah yang tampak di permukaan saja tidak mendalam, begitu pikiranku waktu itu. ketika memandang diri juga, aku sendiri tipe orang yang tidak suka hal tertib apalagi soal kerapian waktu itu. Bahkan soal penampilan tidak pernah kuperhatikan. Pakaian kuliah saja kadang asal comot yang ada di sekretariat atau Hima. Benar-benar tidak  ada bakat sama sekali untuk menjadi guru.

            Pagi kemarin aku buka linimasa Facebookku. Kubuka tentang story nya dan mataku tertuju pada status ketika aku PPL (praktek mengajar) di salah satu sekolah di tengah kota Jogja. Status-status yang pedas tanpa basa-basi dan mengutuk kondisi pendidikan yang tak jauh beda dengan yang kuhadapi sekarang. Disitulah sebenarnya aku mulai agak nyaman dengan menjadi guru walaupun masih kaku, bahkan di awal sangat kaku sekali. Padahal sebenarnya pengalamanku tampil di depan publik juga cukup banyak terkait akitivitasku di berbagai organisasi. Soal penampilan, sekali lagi tidak aku perhatikan sama sekali, yang penting sesuai dengan ketentuan dan kelihatan pantas dilihat saja.  Bahkan dititik ini pun sebenarnya belum memutuskan kelak saya akan menjadi …….. GURU SEJARAH.

            Waktu terus bergulir dan dinamika kehidupan terus berjalan. Di awal kuliah sebenarnya memang membayangkan serta merencanakan untuk kuliah 5 tahun bahkan sempat ada keinginan untuk menambahnya menjadi 7 tahun, tapi apa daya keadaan membuatku akhirnya kuliah 5 tahun. Bayanganku dulu, 4 tahun aku akan belajar materi dan teori-teorinya sedangkan satu tahun kugunakan untuk membangun jaringan perkenalan dan mencari pengalaman kerja sebanyak-banyaknya. Bayangan itu tidak berjalan mulus sebenarnya karena pada kenyataanya justru pengalaman kerja dan belajar kalah dengan pengalaman dolan untuk menambah jaringan perkenalan. Setelah 5 tahun kuliah akhirnya waktu lulus tiba. Prosesi wisudapun berjalan dengan lancar walaupun diawali dengan tragedy telat masuk gedung wisuda, perut mulas karena kebanyakan sambal waktu makan bakso malam sebelumnya, dan sumpah serapah tukang foto karena aku tilap bersama seorang senior ketika dia membuka pintu untuk meloading barang propertynya. Entah nasib apa setelah lulus kuliah aku mencoba mendaftar saja ikut program SM3T karena sekali lagi belum ada bayangan mau apa. Bayanganku Cuma satu sementara mau hidup di Jogja dulu dan kerja serabutan. Ealah. Malah saya mulus melalui tes demi tes nya dan apakah saya mempersiapkan diri, tidak sama sekali. Aku ingat betul ketika hari Senin itu ada tes akademik, minggu sebelumnya aku masih bermain arung jeram dengan kakakku dan teman-temanku dan malam harinya aku tepar sampai pagi terus mandi dan ikut tes. Tes kesehatan maupun tes wawancara juga berjalan sangat lancar sampai kemudian pembekalan di Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta. Dan kemudian menjadi guru di SMA Negeri 1 Pining, Kabupaten Gayo Lues, Aceh.

            Ketika menjadi guru SM3T ini lah, aku mulai menemukan jatidiri untuk menjadi guru seperti apa. Aku akui di awal bekerja aku masih sangat kaku dan sering tidak bisa mengontrol emosi. Bahkan seing muncul pikiran apakah saya ini layak menjadi guru.? Hmmmm. Karena menjadi guru dari awal memang tidak ada dalam bayangangku. Menjelang lulus kuliah malah sempat berpikir untuk menjadi penulis dengan berpetualang menjelajah negeri. Tidak ada bayangan profesi guru, sampai aku keterima program SM3T sekalipun. Dan entah mengapa setelah lepas dari kontrak program SM3T, mendapat informasi jika sekolahku dulu terdapat lowongan pekerjaan menjadi Guru. Padahal waktu itu juga aku baru membuka warung kopi. Akhirnya aku mendatfar dan kemudian menjadi guru sampai sekarang.  Terkadang pikiran ini menerobos ke masa lalu, dimana waktu remaja yang bukanlah orang pintar nan berprestasi, kuliah pun juga tidak terlalu memperhartikan penampilan sekarang harus menjadi guru yang memberikan pengajaran baik soal kecerdasan intelektual maupun spiritual kepada anak-anak generasi masa depan bangsa. Aku yang dulunya bukan representasi manusia yang baik dan kebanggaan banyak orang kini harus menjadi percontohan tentang makhluk yang baik itu seperti apa?. Dan sejujurnya pikiran atau perasaan ,” LAYAKKAH/PANTASKAH SAYA MENJADI GURU terus menghinggapi.

                                                                       

 

                                                                                                            Pati, 29 Agustus 2020

 


 

Selasa, 15 Januari 2008

APA KATA SEMESTA?

APA KATA SEMESTA?
Aku tidak ingin menjadi pohon bambu yang mengikuti angin, tapi aku ingin menjadi pohon oak yang bergerak menentang angin.
(Soe Hok Gie)
Hari ini Aryo merasa sebal sekali. Keinginannya menjadi seorang yang berpikir dan berjalan dengan arah pikirannya sendiri ditentang oleh orang-orang kesayangannya. Keinginannya untuk menjadi seorang pecinta alam ditentang oleh orang tuanya, kakaknya, bahkan pacarnya sekalipun. Aryo merasa hidupnya bagaikan berada di dalam tempurung kelapa. Ingin rasanya dia meninju kamar kosnya, tapi apa daya tangannya tidak sekeras kulit tembok kamar kosnya. Jangankan merasa sakit, tembokpun tidak merasa mengeluh ketika dipukulnya, yang merasa sakit dan berteriak malah Aryo. Apa kata semesta?
Kekesalan Aryo dimulai seminggu yang lalu, ketika ia mendaftar ikut UKM Pecinta Alam di kampusnya. Pada waktu itu tidak pernah terlintas pikiran sampai masalahnya menjadi sepelik ini. Dia hanya berpikir, kalau mengikuti kegiatan yang positif maka akan disetujui oleh keluarganya. Tapi perkembangannya, ketika pertama kali mengatakan kalau dia mengikuti Pecinta Alam kepada kakaknya, dengan serta merta sang kakak menolak dan tidak mengijinkan Aryo untuk mengikuti kegiatan ini. Kakaknya beralasan kalau kegiatan itu akan mengganggu kuliahnya. Kemudian Aryo meminta ijin kepada ibunya, tetapi ibunya pun tidak mengijinkan. Kebingungan dan kebimbangan kemudian melanda diri Aryo. Kemudian dia mengambil buku kesayangannya “Catatan Seorang Demonstran”. Disana Aryo menemukan kata-kata sakti yang berbunyi “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya.. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung”. Dari kata-kata itu, Aryo semakin memantapkan hati untuk maju terus pantang mundur mengikuti UKM Pecinta Alam di kampusnya. Aryo sadar akan konsekuensi yang diakibatkan nanti.
Aryo sebenarnya ingin bergerak dengan alam pikirannya saat itu. “Kalau mau minta tanda tangan untuk mengikuti pecinta alam, aku malas. Kalau masih tetap keras kepala, minta tanda tangan sama tukang becak saja” kata kakak Aryo. Aryo semakin mendongkol mendengar itu dari mulut kakaknya sendiri. Kemudian ia menjadi bimbang, akankah ia mengikuti kata-kata kakaknya,orang tuanya bahkan pacarnya? “Kita lebih baik putus daripada kamu tidak mau menuruti aku. Aku tidak suka kamu ikut kegiatan pecinta alam atau apalah yang sebangsa dengan itu. Pokoknya aku tidak mau tahu, Okey?” Ultimatum dari Ayunda, pacar Aryo. Kalau Aryo mengikuti kata-kata orang-orang kesayangannya berarti Aryo telah mengesampingkan hati nurani. Dan bisa dikatakan pikirannya tidak berjalan secara mandiri. Kemudian apabila ia berjalan dengan kemauan dan arah pikirannya sendiri ia takut dikatakan tidak berbakti atau durhaka. Apa kata semesta?
Berpikir secara bebas, bertindak dengan jalan pikirannya sendiri tetapi dengan pertimbangan yang matang. Itulah sebenarnya yang diinginkan oleh Aryo. Menjalankan pikiran dengan ditemani belenggu-belenggu ketidakberdayaan, mengalah kepada keadaan, berjalan dengan selalu diiringi dengan tuntunan, apakah Aryo akan selalu begini? Apakah demokrasi berpikir akan terbentur masalah-masalah? Aryo tidak habis pikir, sejak jaman penjajahan Belanda sampai era sekarang, kebebasan berpikir dikekang. Aryo menjadi ingat kasus Bung Munir. Bagaimana seorang pejuang HAM dibunuh. Mungkin ini juga termasuk pengekangan kebebasan berpikir.
Satu minggu kemudian, pelatihan dasar di UKM Pecinta Alam dimulai. Pelatihan ini tidak seperti apa yang dibayangkan olehnya. Pelatihan ini sangat berat. Tapi Aryo tidak ingin keluar dari pelatihan ini, walaupun berkali-kali keinginan keluar itu datang. Tetapi ia telah membulatkan tekad. Dia ingin membuktikan kepada orang-orang kesayangannya bahwa pilihannya ini tidak salah dan dia bertekad bahwa akan mendapatkan hal-hal yang positif dalam mengikuti kegiatan ini. Apabila ia keluar dan menyerah dengan keadaan ini, apa kata semesta?
“Gung, aku ingin keluar dari pelatihan ini. Aku sudah tidak kuat!” keluh Aryo kepada Agung, teman satu kontrakannya. “Ah, kau ini! Kaukan telah membulatkan tekad untuk ikut kegiatan ini. Kalau sudah mantap mengapa harus datang ragu?” kata Agung. Kata yang diucapkan oleh Agung ini coba diresapi oleh Aryo. Keraguan merupakan musuh utama dari manusia, sedangkan belenggu-belenggu yang membatasi gerak pikiran adalah merupakan antek-antek dari keraguan itu. Apakah Aryo mampu untuk melawan penjajah alam pikiran manusia yang berbangga menyebut dirinya keraguan? Kebebasan pikiran adalah merupakan apa yang dituju oleh Aryo sekarang atau dengan kata lain demokrasi pikir.
Selama satu minggu Aryo telah menyelesaikan separo dari proses pelatihan dan bisa juga disebut penerimaan anggota baru. Dalam waktu satu minggu itu Aryo menjalaninya dengan perjuangan yang bisa dikatakan berat. Disana dia menemukan sahabat-sahabat yang dianggap keluarga sendiri. Rasa solidaritas, saling tolong, dan saling melindungi, itulah yang dirasakan oleh Aryo dalam mengikuti pelatihan yang maha berat ini. Disana dia bersahabat dengan Seypa, Eno, Matra, Noe, dan enam kawan lainnya. “ Bos mari berjuang bersama. Kita akan sama-sama menjadi pecinta alam” teriak Eno menyemangati Aryo ketika Aryo mengikuti proses pelantikan kedua. Semangat kekeluargaan untuk berjuang bersama, itulah yang mampu membuat Aryo bertahan dan ditambah untuk membuktikan bahwa kebebasan pikiran yang diperjuangkannya harus berakhir dengan hasil yang memuaskan.
Seminggu kemudian pelantikan yang terakhir diadakan di gunung Lawu. Disini perjuangan Aryo semakin berat. Dia dan kesembilan temannya berjuang saling membantu untuk menyelesaikan pelantikan yang keempat dan terakhir ini.
Selain melaksanakan pelantikan, Aryo juga mencoba memahami begitu besar keagungan Allah. Allah adalah Pencipta Maha Sempurna. Begitu besar rahmat yang diberikan kepada manusia. Saat melintasi alam pegunungan, Aryo begitu takjub melihat panorama alam yang sangat luar biasa indahnya. “Panorama yang begitu indah, mengapa aku dilarang untuk melihat, menikmati, dan menjaganya?” Tanya Aryo dalam hati.
Setelah melaksanakan pelantikan keempat dan resmi menjadi anggota pecinta alam di kampusnya, Aryo semakin terlihat kedewasaannya. Dia sangat puas dengan apa yang telah dilakukannya. Walaupun itu penuh dengan tentangan dan hambatan. Dia puas telah mampu membebaskan pikiran dari ketidakberdayaan. Dalam kerangka berpikirnya, memang terlihat egois dan bertindak semau sendiri. Tapi Aryo hanya ingin berjalan dengan arah pikirannya sendiri dan dia sudah siap menanggung segala resiko yang nantinya akan datang.
Suatu ketika, akhirnya kita tiba pada suatu hari yang biasa. Dimana ketidakberdayaan datang bertamu. Aryo mencoba melawan ketidakberdayaan itu dengan membebaskan diri dari ketidakberdayaan dan mencoba untuk berpikir secara bebas, berjalan dengan kemauan sendiri. Kalau kita tidak mampu membebaskan pikiran kita dan berjalan dengan kemauan sendiri dengan pertimbangan yang matang, bagaimana kita mau mandiri? Apa kata semesta?