Rabu, 23 September 2020
Tidak Mudah Menjadi Guru Sejarah Di Indonesia
Mau percaya atau tidak, sungguh tidak mudah menjadi guru sejarah di Indonesia. Di mulai dari awal mau menjadi guru dengan sekolah mengambil jurusan sejarah saja sudah mendapat cobaan dengan cibiran dan keraguan dari sekeliling kita seperti keluarga dan mungkin orang-orang di sekitar kita. Ambil kok sejarah, gak bisa buka les-les an, dapat tambahan duit darimana? Sedangkan yang lain berkata,” mau jadi apa besok ambil sejarah?”. Untung hati ini buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, bisa pecah seperti gelas kaca yang bisa buat bercermin. Itu baru awal saja sebelum berproses untuk menuju sah nya mengajar sejarah.
Ketika sudah kuliah pendidikan sejarah, otak kami serasa diaduk karena materi yang didapatkan hampir sebagian bisa berbeda dengan apa yang didapatkan ketika sekolah. Apalagi godaan diskusi-diskusi liar tentang sejarah yang kontroversial. Selain itu belum lagi diberikan tugas yang menguji daya tahan mata dengan tumpukan buku yang banyak. Belum nanti diperdebatkan di dalam ruang kelas. Ada lagi yang harus kuat menahan rasa kantuk di kelas, dan tidak jarang harus menerima ancaman jika sering bertanya. Pengalaman penulis bahkan di antara beberapa teman penulis melambaikan tangan dan memilih keluar dalam perkuliahan pendidikan sejarah dengan beragam alasan. Kemudian, di saat kuliahpun sudah diultimatum untuk tampil rapi dengan celana berkain dan rambut yang harus rapi sebagai cerminan guru yang baik. Sepatu harus hitam mengkilat kalau tidak jangan harap dapat nilai A pada mata kuliah etika profesi keguruan. Belum rasanya kemudian bagaimana menahan grogi yang teramat sangat ketika peer teaching sampai nanti PPL.
Selanjutnya yang harus diketahui adalah tidak semua mereka yang lulus jurusan pendidikan sejarah akan mengajar mapel sejarah, bahkan juga diantaranya tidak mengambil pekerjaan menjadi guru. Pada akhirnya TIDAK SEMUA MENJADI GURU SEJARAH. Beragam juga alasan mereka, ada yang tidak siap mental menjadi guru, ada yang karena soal penghasilan yang kinim sebagai guru honorer, dan masih banyak yang lain. Betapa kuliah sejarah juga bisa melahirkan beragam orang dengan profesinya. Sejarah bisa bekerja di segala lini dari pegawai bank, koperasi, wiraswasta, wartawan, penjaga museum, pegawai dinas, dan lain-lain. Dan sebagian meneruskan perjuangannya MENJADI GURU SEJARAH. Apakah kemudian ketika sebagian yang menjadi guru sejarah itu pekerjaanya lancar dan mampu melahirkan generasi-generasi yang sadar sejarah dan memiliki nasionalisme yang kuat? Ohhhhhh.. tidak semudah itu Ferguso….
Saat ini pun guru sejarah kembali diuji ketahanannya dan ke istiqomah-annya menjadi guru sejarah. Baru beberapa tahun mata pelajaran sejarah mendapatkan keberkahan di kurikulum 2013, ehhh .. sudah mendapatkan lagi usikan dengan wacana mapel sejarah akan dikurangi jamnya dan dijadikan mapel pilihan. Baru saja “Sejarah” menjadi primadona untuk di ambil sebagai pilihan jurusan dalam perguruan tinggi, malah mendapat cobaan yang berat seperti ini? Sungguh tega nian yang berpikir sampai seperti itu. Anda belum pernah merasakan bagaimana perjalananan kami sebagai guru sejarah laksana perjalanan Rombongan Biksu Tom Sam Chong untuk mendapatkan Kitab suci? Dari awal saja kami dicibir eh sekarang sudah menjadi guru sejarah masih saja diusik. Apalagi dengan kesadaran tingkat tinggi memang sejarah hanya dianggap penting tetapi tidak menjanjikan sebagai menantu yang baik dengan jaminan lambhorgini dan tas kulit impor dari luar negeri. Tetapi terlepas dari semua itu, percayalah kami sebagai guru sejarah sebenarnya juga selalu punya cita-cita terbaik untuk kemajuan negeri. Walaupun mungkin saja sebagian dari kami guru sejarah tidak mencerminkan guru sejarah yang baik, percayalah itu ujian dalam bentuk lain menuju ke istiqomah-an mmenjadi guru sejarah yang baik berdasar Pancasila dan UUD 1945. Meeerdeeekkkaaa.. Viva Historia.
(sumber karikatur dari http://katarizon.blogspot.com)
Temanggung, 23 September 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar